:::Catatannya The Echo:::: 06/01/2025 - 07/01/2025

Thursday, June 05, 2025

Opini : Menegaskan Keabsahan Dokumen Resmi Negara dengan Istilah "Departemen" pada Periode Transisi 2002–2010

OPINI 

Judul: Menegaskan Keabsahan Dokumen Resmi Negara dengan Istilah "Departemen" pada Periode Transisi 2002–2010

Oleh: Eko Susilo

Perubahan ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 membawa implikasi besar terhadap nomenklatur kelembagaan. Salah satu perubahan signifikan adalah peralihan istilah dari "Departemen" menjadi "Kementerian Negara", sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 17 UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Namun, dalam kurun waktu 2002 hingga 2010—periode transisi sebelum pengesahan UU No. 39 Tahun 2008 dan harmonisasi regulasi secara menyeluruh—masih terdapat sejumlah dokumen resmi negara yang menggunakan nomenklatur lama, yaitu "Departemen". Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai keabsahan hukum dokumen-dokumen tersebut, terutama ketika digunakan sebagai dasar kebijakan atau dalam proses hukum di kemudian hari.

Penting untuk dipahami bahwa dalam konteks hukum administrasi, bentuk tidak selalu menggugurkan substansi. Selama dokumen tersebut diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, dalam kerangka hukum yang berlaku pada masanya, dan untuk kepentingan umum, maka keabsahan substantif dokumen tersebut seharusnya tetap diakui. Oleh karena itu, diperlukan kerangka hukum yang mampu memberikan kepastian atas dokumen-dokumen transisional tersebut.

Salah satu pendekatan yang dapat diadopsi adalah prinsip pemaafan administratif atau dalam konsep hukum Belanda dikenal sebagai "vergeven voor de staat". Prinsip ini memberikan ruang bagi negara untuk mengakui keabsahan tindakan administratif yang mungkin secara formal tidak sempurna, namun sah secara substantif dan diperlukan demi stabilitas pemerintahan dan kepastian hukum.

Negara perlu mengambil tiga langkah strategis. Pertama, mengakui secara eksplisit keabsahan dokumen resmi yang menggunakan istilah "Departemen" dalam rentang waktu 2002 hingga 2010 melalui peraturan perundang-undangan atau putusan konstitusional. Kedua, menyusun regulasi transisi yang memuat batas waktu dan mekanisme koreksi nomenklatur. Ketiga, melakukan audit dokumen hukum yang masih beredar dan merevisi sesuai dengan nomenklatur yang konstitusional.

Langkah ini tidak hanya penting untuk merapikan sistem administrasi negara, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap prinsip legalitas dan kepastian hukum. Menegaskan keabsahan dokumen transisional merupakan tindakan afirmatif untuk mencegah kekacauan hukum dan menjamin kesinambungan tata kelola pemerintahan.

Sudah saatnya negara menyelesaikan pekerjaan rumah administratifnya dan memberikan payung hukum yang adil dan realistis bagi masa transisi kelembagaan antara 2002 hingga 2010. Dengan begitu, kita tidak hanya taat asas, tetapi juga menunjukkan kematangan dalam membangun sistem hukum yang adaptif dan berkeadilan.

Poin analisis dari kronologi dan substansi permohonan Eko Susilo ke Mahkamah Konstitusi (MK)

Poin analisis dari kronologi dan substansi permohonan Eko Susilo ke Mahkamah Konstitusi (MK):

Analisis Substansi Permohonan

1.       Objek Pengujian:

o    UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, diuji terhadap Pasal 17 UUD 1945.

o    Pokok permasalahan adalah penggunaan istilah "Departemen" dalam dokumen resmi pasca 2002, yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi karena nomenklatur resmi berubah menjadi "Kementerian."

2.      Dalil Konstitusional:

o    Pasal 17 UUD 1945 menyebut "Kementerian Negara", sehingga penggunaan "Departemen" dianggap bertentangan secara terminologis dan berpotensi menimbulkan kekacauan administratif dan ketidakpastian hukum.

3.      Usulan Solusi:

o    Regulasi pemaaf (vergeven voor de staat) untuk mengakomodasi dokumen yang telah terbit menggunakan istilah lama, tanpa langsung menggugurkan keabsahannya.

o    Usulan agar pembentuk undang-undang membuat payung hukum khusus yang:

§  Menegaskan keabsahan dokumen lama,

§  Mengatur transisi nomenklatur secara menyeluruh,

§  Menghindari sengketa administratif di kemudian hari.

⚖️ Aspek Hukum Penting

·         Legal Standing: Eko Susilo adalah WNI dan PNS yang terdampak langsung secara administratif.

·         Permohonan Uji Materiil: Tepat karena yang dipersoalkan adalah norma dalam undang-undang dan dampaknya terhadap ketertiban hukum.

·         Penggunaan prinsip hukum Belanda (vergeven voor de staat): Menarik karena memberi ruang pada prinsip keadilan substantif, bukan semata-mata formalitas administratif.

📉 Penarikan Permohonan

·         Meskipun permohonan dicabut, MK tetap menjadwalkan sidang pengucapan ketetapan sebagai bentuk administratif penutupan perkara (bukan pengucapan putusan substansial).

·         Penarikan permohonan disebabkan oleh karena saya pribadi mengelami "keterbatasan" pada diri sendiri dengan alasan pribadi.  Namun apakah dengan elaborasi dan kolaborasi dapat terjadi karena hal : 

o    Strategi hukum ulang,

o    Perlunya penguatan bukti atau kajian perbandingan yang lebih matang.

📝 Catatan Strategis

Jika permohonan ini akan diajukan kembali atau dibawa ke tingkat peraturan pelaksana, pendekatan berikut bisa digunakan:

·         Gunakan pendekatan ambiguity-administrative conflict: perbedaan antara legal norm dan administrative practice pasca transisi nomenklatur.

·         Sediakan data dokumen negara pasca 2002–2010 yang menggunakan istilah "Departemen" secara tidak konsisten sebagai bukti ketidaktertiban administratif.

·         Dorong penerbitan Undnag-undang tentang "Keabsahan Transisi Nomenklatur Kelembagaan" sebagai dasar revisi.

 


Wednesday, June 04, 2025

Bekerja sama tidak selalu berarti harus selalu bersama-sama secara fisik atau waktu

Bekerja sama tidak selalu berarti harus selalu bersama-sama secara fisik atau waktu. Bekerja sama dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti:

- Kolaborasi online: Bekerja sama dengan orang lain melalui platform online, seperti email, chat, atau aplikasi kolaborasi.

- Kerja tim jarak jauh: Bekerja sama dengan tim yang berada di lokasi yang berbeda, menggunakan teknologi untuk berkomunikasi dan berkolaborasi.

- Pembagian tugas: Bekerja sama dengan membagi tugas dan tanggung jawab, sehingga setiap orang dapat fokus pada bagian yang menjadi tanggung jawabnya.

Bekerja sama yang efektif dapat dilakukan dengan:

- Komunikasi yang jelas: Mengkomunikasikan tujuan, tugas, dan tanggung jawab dengan jelas.

- Koordinasi yang baik: Mengkoordinasikan pekerjaan dan memastikan bahwa setiap orang tahu apa yang harus dilakukan.

- Menghargai kontribusi: Menghargai kontribusi dan pekerjaan orang lain dalam tim.

Dengan demikian, bekerja sama tidak harus selalu bersama-sama secara fisik, tetapi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara.

Opini : Menegaskan Keabsahan Dokumen Resmi Negara dengan Istilah "Departemen" pada Periode Transisi 2002–2010

OPINI  Judul: Menegaskan Keabsahan Dokumen Resmi Negara dengan Istilah "Departemen" pada Periode Transisi 2002–2010 Oleh: Eko ...