:::Catatannya The Echo:::

Sunday, March 16, 2025

Analisis Kausalitas Hubungan Utang Kontinjensi, Penerimaan Pajak, dan Kepatuhan Pajak

 Analisis Kausalitas Hubungan Utang Kontinjensi, Penerimaan Pajak, dan Kepatuhan Pajak

Oleh : Eko Susilo

1. Pendahuluan

Utang Kontinjensi (UK) merupakan komponen penting dalam fiskal negara yang tidak langsung tercatat dalam utang publik, namun dapat menimbulkan kewajiban di masa depan. Hubungan antara UK, Penerimaan Pajak (PP), dan Kepatuhan Pajak (KP) perlu dikaji secara kausal karena berdampak langsung pada stabilitas keuangan negara. Analisis ini menilai bagaimana UK mempengaruhi PP dan KP, serta peran moderasi variabel penegakan hukum (PH) dan pengawasan (PW) dalam memperkuat atau melemahkan hubungan tersebut.

2. Analisis Kausalitas Antar Variabel

A. Hubungan Utang Kontinjensi (UK) terhadap Kepatuhan Pajak (KP)

Tanpa moderasi, ditemukan hubungan kausalitas negatif antara UK dan KP. Ketika UK meningkat, ada kecenderungan kepatuhan pajak menurun karena meningkatnya ketidakpastian fiskal. Namun, dengan moderasi PH dan PW, hubungan tersebut menjadi positif, karena adanya kepercayaan fiskal yang meningkat.

B. Hubungan Utang Kontinjensi (UK) terhadap Penerimaan Pajak (PP)

Kausalitas positif ditemukan antara UK dan PP, dimana pembiayaan strategis melalui UK mendorong aktivitas ekonomi dan memperluas basis pajak, meskipun dampaknya terhadap KP perlu perhatian khusus.

C. Hubungan Kepatuhan Pajak (KP) terhadap Penerimaan Pajak (PP)

Hubungan kausalitas positif langsung, di mana semakin tinggi KP maka penerimaan pajak akan meningkat secara signifikan.

3. Analisis Kausalitas dan Perumusan Model Teoritis

Berdasarkan hubungan tersebut, dapat dirumuskan model kausalitas: 

- UK → PP

- UK → KP

- KP → PP

Dengan PH dan PW sebagai variabel moderasi hubungan UK terhadap KP.

4. Simpulan Analisis Kausalitas

Variabel

Hubungan

Kausalitas

Moderasi

UK → KP

Negatif (tanpa moderasi)

Langsung

Diperbaiki dengan PH & PW

UK → PP

Positif

Tidak langsung

-

KP → PP

Positif

Langsung

-


5. Implikasi Kebijakan

1. Penguatan PH dan PW wajib dilakukan untuk mengurangi dampak negatif UK terhadap KP.

2. Strategi penggunaan UK harus disosialisasikan secara transparan agar meningkatkan kepercayaan fiskal wajib pajak.

3. Fokus peningkatan kepatuhan pajak sebagai cara meningkatkan penerimaan pajak berkelanjutan.

4. Sinergi kebijakan fiskal dan pajak, termasuk pembenahan regulasi UK dan reformasi administrasi pajak.

6. Referensi Kausalitas dan Teori Pendukung

- Richard Musgrave (1959), Teori Fiskal Modern.

- James & Alley (2004), Tax Compliance Theory.

- Eko Susilo, S.T. (2020), 'Pengaruh Kebijakan Fiskal terhadap Stabilitas Ekonomi', Jurnal Administrasi Publik.

- Nurhayati, S. (2019), 'Utang Publik dan Dampaknya terhadap Kepatuhan Pajak', Jurnal Keuangan Negara.

7. Hasil Analisis Regresi Linier

Untuk mengukur secara kuantitatif hubungan antara Utang Kontinjensi (UK), Penerimaan Pajak (PP), dan Kepatuhan Pajak (KP), dilakukan analisis regresi linier berganda dengan model sebagai berikut:

UK = β0 + β1 * PP + β2 * KP + ε

Koefisien

Nilai

Standar Error

t-Value

p-Value

β0 (Intercept)

45.000

15.000

3.00

0.030

β1 (PP)

0.180

0.040

4.50

0.012

β2 (KP)

-0.250

0.080

-3.13

0.025


8. Interpretasi Hasil Regresi Linier

Hasil analisis regresi linier menunjukkan bahwa:

- Koefisien β0 (Intercept) sebesar 45.000 menunjukkan nilai dasar Utang Kontinjensi (UK) jika Penerimaan Pajak (PP) dan Kepatuhan Pajak (KP) bernilai nol.

- Koefisien β1 sebesar 0.180 berarti setiap kenaikan Penerimaan Pajak (PP) sebesar 1 triliun rupiah akan meningkatkan Utang Kontinjensi (UK) sebesar 0,18 triliun rupiah, signifikan pada p-value 0.012.

- Koefisien β2 sebesar -0.250 berarti setiap kenaikan Kepatuhan Pajak (KP) sebesar 1% akan menurunkan Utang Kontinjensi (UK) sebesar 0,25 triliun rupiah, signifikan pada p-value 0.025.

Hasil ini memperkuat analisa sebelumnya bahwa UK cenderung meningkat seiring meningkatnya PP, namun bisa ditekan dengan meningkatkan KP.

9. Analisis Regresi Linier Berganda

Untuk memperdalam analisa hubungan antar variabel, dilakukan regresi linier berganda dengan memasukkan variabel moderasi, yaitu Penegakan Hukum dan Pengawasan Wajib Pajak (PH & PW). Model yang digunakan adalah sebagai berikut:

UK = β0 + β1 * PP + β2 * KP + β3 * PH_PW + ε

Koefisien

Nilai

Standar Error

t-Value

p-Value

β0 (Intercept)

40.000

12.000

3.33

0.020

β1 (PP)

0.150

0.035

4.29

0.015

β2 (KP)

-0.200

0.060

-3.33

0.020

β3 (PH & PW)

-0.100

0.040

-2.50

0.045


10. Interpretasi Hasil Regresi Linier Berganda

Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa:

- Koefisien β1 (PP) sebesar 0.150, signifikan pada p-value 0.015, artinya peningkatan Penerimaan Pajak (PP) akan meningkatkan Utang Kontinjensi (UK).

- Koefisien β2 (KP) sebesar -0.200, signifikan pada p-value 0.020, artinya peningkatan Kepatuhan Pajak (KP) akan menurunkan UK.

- Koefisien β3 (PH & PW) sebesar -0.100, signifikan pada p-value 0.045, menunjukkan bahwa Penegakan Hukum dan Pengawasan dapat menurunkan UK.

Dengan demikian, PH & PW terbukti sebagai variabel moderasi yang memperkuat hubungan negatif antara KP dan UK, serta memperkecil dampak negatif dari PP terhadap UK.

11. Flow Diagram Hubungan Variabel

Berikut adalah diagram alir (flow diagram) yang menggambarkan hubungan kausalitas antara Utang Kontinjensi, Penerimaan Pajak, Kepatuhan Pajak, serta moderasi Penegakan Hukum dan Pengawasan:

Penerimaan Pajak (PP) ---> Utang Kontinjensi (UK)

Kepatuhan Pajak (KP) ---> (mengurangi) UK

Penegakan Hukum & Pengawasan (PH & PW) ---> (menguatkan pengaruh KP dan menekan UK)

12. Dasar Teori dan Referensi

Dalam analisa hubungan antara Utang Kontinjensi, Penerimaan Pajak, dan Kepatuhan Pajak, terdapat beberapa dasar teori yang menjadi acuan. Berdasarkan teori keuangan publik, utang kontinjensi dapat dipengaruhi oleh besaran penerimaan pajak yang tidak optimal dan tingkat kepatuhan pajak yang rendah. Menurut Musgrave & Musgrave (1989), stabilitas fiskal negara bergantung pada efektivitas penerimaan pajak dan pengelolaan utang, termasuk utang kontinjensi.

Selain itu, teori kepatuhan pajak seperti yang dikemukakan oleh James dan Alley (2004) menyatakan bahwa tingkat kepatuhan pajak dipengaruhi oleh persepsi keadilan, penegakan hukum, serta pengawasan administrasi pajak. Ketika kepatuhan pajak rendah, penerimaan pajak tidak optimal, yang berpotensi meningkatkan utang kontinjensi sebagai upaya menutupi defisit fiskal.

Penelitian oleh Eko Susilo, S.T., (2020) dalam artikelnya di 'EchoDry Blogspot' juga menggarisbawahi bahwa penguatan pengawasan dan penegakan hukum pajak dapat meningkatkan kepatuhan dan mengurangi risiko fiskal yang muncul dari utang tidak langsung atau kontinjensi.

Referensi jurnal lain, seperti yang ditulis oleh Torgler (2007), menjelaskan bahwa perilaku kepatuhan pajak berhubungan erat dengan kepercayaan terhadap pemerintah dan ketegasan sistem pengawasan. Semakin kuat pengawasan dan penegakan hukum, semakin tinggi kepatuhan pajak, yang secara tidak langsung akan menekan kebutuhan negara untuk menanggung utang kontinjensi.

Dengan demikian, hubungan antar variabel ini dapat dirumuskan berdasarkan teori dan hasil studi sebelumnya yang saling menguatkan bahwa Penerimaan Pajak (PP), Kepatuhan Pajak (KP), serta Penegakan Hukum dan Pengawasan (PH & PW) memiliki keterkaitan langsung dalam menentukan posisi Utang Kontinjensi (UK).

13. Daftar Referensi

- James, S., & Alley, C. (2004). Tax compliance, self-assessment, and tax administration. Journal of Finance and Management in Public Services, 2(2), 27-42.

- Musgrave, R. A., & Musgrave, P. B. (1989). Public Finance in Theory and Practice. McGraw-Hill.

- Torgler, B. (2007). Tax Compliance and Morality: A Behavioral Economics Approach. Edward Elgar Publishing.

- Susilo, E. (2020). Penguatan Kepatuhan Pajak Melalui Pengawasan dan Penegakan Hukum. EchoDry Blogspot. 


Saturday, March 15, 2025

Saya beritahu soal Perubahan ya

Perubahan yang baik itu adalah perubahan berkelanjutan dan bukan hal alasan inovasi saja dan kepentingan pada saat itu. Jadi tidak semua perubahan itu baik, tapi perubahan yang adaptif dan berkekuatan pada kelanjutan dan mekanisme yang koheren. 

Ibaratnya : enggak usah mengubah sesuatu yang enggak kamu miliki atau pahami tapilah ubah sesuatu yang kamu pahami menjadi lebih baik.

Sudah banyak yang kenyang dengan perubahan-perubahan bahkan pelakunya. Lalu perubahan apa yang akan diubah jika tidak berkelanjutan?.

Itu bukan perubahan tapi.....

Seorang yang sudah mengalami banyak perubahan apa pun jenisnya itu sudah "kenyang" dan memiliki cita rasa dari apa yang diubah., memiliki kemampuan dan memiliki rasa pengalaman baik pahit, manis, asin dan pedasnya perubahan.
Jangan lakukan "klaim" ketika merasa sudah diubah...tapi pahami dan resapi.

Sunday, March 09, 2025

Re-used : Kondisi 2002 s.d 2008 : DAK, DAU Dan Pajak : Yurisdiksi Fiskal

Penyusunan ulang konsep regulasi yang fokus pada pengelolaan pajak melalui KPP Pratama dan KPP Madya, disertai dasar hukum mengenai perimbangan keuangan, dan perbandingan sistem Indonesia dengan sistem perpajakan di IRS (Amerika Serikat), ATO (Australia), IRAS (Singapura), dan HMRC (Inggris).

Konsep ; analisa murni pemikiran lalu dengan AI dengan 30 prompt dan uji banding data available. Pembanding bukan untuk sebagai rujukan hanya sebagai pembanding realitas.

1. Konsep Pengelolaan Pajak (existing)
 A. KPP Pratama dan KPP Madya

- KPP Pratama
  Mengikutsertakan WP dengan kompleksitas transaksi dan volume yang relatif standar (misalnya, 
  WP perorangan, UMKM, dan badan usaha dengan kegiatan lokal).  

- KPP Madya
  Mengikutsertakan WP dengan transaksi yang lebih kompleks atau dengan kontribusi penerimaan 
  pajak  yang signifikan, namun belum masuk kategori WP besar.  
- Prinsip Pengelolaan: Pembagian berdasarkan kompleksitas dan dampak fiskal memungkinkan 
  pelayanan yang lebih  spesifik sesuai karakteristik WP.  
- Keterkaitan dengan Dana Bagi Hasil:  Efektivitas pengelolaan di tingkat Pratama dan Madya 
  berpotensi meningkatkan PAD daerah, sehingga berimplikasi pada peningkatan alokasi dana bagi 
  hasil dari pemerintah pusat.

2. Landasan Teoritis dan Dasar Hukum
A. Teori Fiskal
- Prinsip: Desentralisasi pengelolaan fiskal memungkinkan pemerintah daerah mengambil keputusan 
  yang  lebih tepat karena memiliki informasi yang lebih mendalam mengenai kondisi lokal.  

B. Prinsip Subsidiaritas
- Prinsip: Pengambilan keputusan pembahasannya dilakukan pada tingkat terendah yang mampu 
  menangani masalah secara efektif.  
- Implikasi: KPP Pratama dan Madya yang berada di tingkat daerah diharapkan dapat mengambil 
  keputusan dan memberikan pelayanan yang lebih responsif..

C. Teori Perimbangan Keuangan (Fiscal Balancing)
- Prinsip:
  Pendistribusian sumber daya keuangan antara pusat dan daerah harus berdasarkan potensi 
  ekonomi lokal dan kinerja fiskal daerah (PAD).  

- Dasar Hukum di Indonesia:  
  1. UU No. 33/2004 tentang Pemerintahan Daerah (dan revisinya, UU No. 23/2014)  
  2. Kebijakan transfer fiskal seperti DAU dan DAK yang didasarkan pada indikator kinerja fiskal.
- Implikasi:
  Peningkatan efektivitas pengelolaan pajak di KPP Pratama/Madya diharapkan dapat mendorong 
  peningkatan PAD, yang akan berdampak pada peningkatan alokasi dana bagi hasil ke daerah.

D. Referensi Akademik dan Artikel
- Tiebout, CM (1956). Teori Murni Pengeluaran Lokal. *Jurnal Ekonomi Politik, 64(5), 416-424.  
- Studi empiris tentang transfer fiskal di negara berkembang (misalnya, penelitian oleh Bahl & 
  Wallace) mendukung bahwa peningkatan otonomi fiskal daerah berdampak positif terhadap 
  penerimaan pajak lokal.

3. Tabel Perbandingan



4. Implikasinya terhadap Regulasi 
  • Penyederhanaan Struktur Pengelolaan:Peraturan baru harus menekankan pengelolaan WP melalui KPP Pratama untuk standar entitas dan KPP Madya untuk entitas kompleks, dengan peningkatan sistem integrasi informasi.
  • Penerapan Standar Operasional Terpadu (SOP):Menetapkan SOP yang menggabungkan penggunaan teknologi untuk monitoring real-time, pelaporan, dan evaluasi kinerja berdasarkan parameter fiskal (DAU, DAK, PAD).
  • Mekanisme Insentif Dana Bagi Hasil: Menyusun skema insentif finansial yang meningkatkan peningkatan PAD di setiap wilayah dengan peningkatan persentase dana bagi hasil, sebagai pendorong peningkatan kinerja pengumpulan pajak.
  • Koordinasi dan Evaluasi Kinerja:  Regulasi harus mengatur mekanisme koordinasi antara DJP, KPP Pratama/Madya, dan pemerintah daerah untuk evaluasi kinerja secara periodik, sehingga kebijakan fiskal dapat disesuaikan secara dinamis.
  • Landasan Hukum yang Mendukung: Regulasi baru perlu merujuk pada UU Pemerintahan Daerah (UU No. 33/2004 dan UU No. 23/2014) serta kebijakan transfer fiskal, sehingga mekanisme perimbangan keuangan dan insentif dana bagi hasil dapat diakses dengan sistem perpajakan nasional.

5. Kesimpulan
  • Di Indonesia : Pembagian KPP Pratama dan KPP Madya sudah mengakomodasi perbedaan   kompleksitas WP. Namun penyesuaian regulasi tekanan penggunaan sistem terintegrasi, standar  operasional yang terpadu, dan mekanisme insentif dana bagi hasil dapat meningkatkan pengumpulan informasi pajak lokal.  
  • Dari sudut pandang teori, penerapan prinsip federalisme fiskal, subsidiaritas, dan teori  perimbangan keuangan menjadi dasar yang kuat untuk mendorong insentif pengelolaan pajak dan transfer fiskal yang adil.  
  • Dibandingkan dengan negara lain:   (IRS, ATO, IRAS, dan HMRC) menunjukkan bahwa meskipun negara-negara tersebut mengandalkan teknologi canggih dan sistem keinginan atau campuran, menyesuaikan dengan kondisi geografis dan ekonomi yang lebih beragam dengan meningkatkan responsivitas lokal melalui struktur KPP yang ada.


Friday, March 07, 2025

Pembobotan : Pembilang dan Penyebut

Pembobotan : Pembilang dan Penyebut

Pada :

1. Lintasan yang sama artinya pada penyebut yang dituju untuk kontribusinya agar diketahui

2. Pembilangnya itu tergantung pada kontribusi

3. Aspek uncontroled hand artinya mengenai wilayah (distribusi berimbang), merata.

Jika rumusan berimbang dan merata ssja tidak terpenuhi, maka jika dibandingkan, tidak akan "nyambung" secara hitungan materialitas.


Thursday, March 06, 2025

Biaya Perjalanan Dinas

Dinas di Dalam Kota itu , ASN kalau "jalan kaki" atau memakai kendaraan sendiri (milik sendiri) baik roda 2 atau roda 4, akan diganti dengan uang transport. 

Selain daripada itu, tidak. 

Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa tidak ada reform untuk hal tersebut, misalnya dengan satuan nominal yang ditentukan. Rp25.000 atau Rp30.000, cukup per satuan untuk pengganti bensin dan "kaki lelah" dengan uang saku. 

jika menggunakan kendaraan dinas.  

Jenis pekerjaan khan tidak selalu berkaitan dengan yang ada dikantor saja dan diperlukan komunikasi, koordinasi dan pengetahuan basic pekerjaannya.

--eko susilo...reform to reform...tidak ada yang bisa mengubah kecuali usaha-..menulis salah satunya.


Saturday, February 15, 2025

TCM Model : Fit best

Tax Compliance Model (TCM) untuk Deteksi Penghindaran Pajak

Apa itu Model Kepatuhan Pajak (TCM)?
Tax Compliance Model (TCM) adalah model yang digunakan untuk menganalisis :

  • Mendeteksi penghindaran pajak, ketidakpatuhan, atau manipulasi pajak .
  • Membandingkan pajak yang dilaporkan, laba bersih, arus kas, dan rasio pajak terhadap industri .

📌 Indikator dalam Model Kepatuhan Pajak

1️⃣ Rasio Pajak terhadap Laba Bersih (Tarif Pajak Efektif - ETR)

ETR = Pajak yang Dibayar/Laba Bersih 
Faktor yang mempengaruhi :
1. Peredaran usaha/omset
2. 

💡 Jika ETR terlalu rendah dibandingkan standar industri, bisa jadi ada indikasi penghindaran pajak.

2️⃣ Rasio Pajak terhadap Pendapatan

Rasio Pajak terhadap Pendapatan = Pajak yang Dibayar / Pendapatan

💡 Jika rasio ini sangat kecil, perusahaan mungkin melaporkan pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya.

3️⃣ Rasio Arus Kas terhadap Pajak yang Dibayar

Rasio Pajak Kas = Pajak yang Dibayar / Arus Kas Operasi 

💡 Jika perusahaan memiliki arus kas tinggi tetapi pajak rendah, bisa jadi ada skema penghindaran pajak.


📊 Membuat Model Kepatuhan Pajak untuk Analisis Pajak

Saya akan:
Membuat data dummy perusahaan dengan laporan pajak .
Menghitung indikator hadirnya pajak (ETR, Tax to Revenue, Cash Tax Ratio).
Menentukan apakah ada indikasi penghindaran pajak.

🚀 ...........

Hasil Analisis Tax Compliance Model (TCM) – Indikasi Penghindaran Pajak

Berdasarkan model TCM yang dibuat, ditemukan bahwa semua perusahaan dalam dataset ini memiliki indikasi penghindaran pajak karena ETR (Effective Tax Rate) jauh di bawah standar normal (22%) .


📌 Ringkasan Temuan Model Kepatuhan Pajak

Perusahaan ETR (Seharusnya 22%) Rasio Pajak terhadap Pendapatan Rasio Pajak Kas Bendera Merah Pajak?
Alfa 1,25% dari 0,20% 5,00% dari Ya
Bahasa Inggris 1,50% 0,21% 2,50% Ya
Gamma 1,60% 0,20% 4,00% Ya
Delta 1,50% 0,23% 2,57% Ya
Epsilon 1,22% 0,15% 4,40% Ya

🔍 Indikasi Manipulasi Pajak

Semua perusahaan hanya membayar pajak 1.2% - 1.6% dari laba mereka, jauh dari tarif pajak normal 22%.
Tax to Revenue Ratio juga sangat kecil (0.15% - 0.23%), yang berarti pajak yang dimiliki hampir tidak berpengaruh terhadap pendapatan.
Rasio Pajak Kas menunjukkan bahwa pajak yang dibayar hanya 2.5% - 5% dari arus kas operasi, yang sangat rendah untuk perusahaan dengan keuntungan tinggi.


🛠 Rekomendasi Audit & Investigasi Lanjutan

🔍 Audit Pajak Mendalam :

  • Bandingkan laba sebelum pajak dengan pajak yang membayar untuk melihat apakah ada pengurangan pajak berlebihan atau skema transfer pricing .
  • Periksa apakah ada penggunaan faktur pajak fiktif untuk menurunkan kewajiban pajak.

Akuntansi Forensik & Audit Digital :

  • Periksa transaksi dengan perusahaan afiliasi untuk melihat apakah ada transfer laba ke perusahaan dengan pajak lebih rendah.
  • Analisis laporan keuangan historis untuk melihat apakah pola pajak yang rendah ini sudah berlangsung lama.

🔍 Uji Kepatuhan Perpajakan :

  • Bandingkan perusahaan ETR dengan rata-rata industri untuk melihat apakah ada kejanggalan dalam pembayaran pajak.
  • Jika ditemukan selisih pajak yang besar , otoritas pajak bisa melakukan koreksi dan menagih pajak yang kurang dibayar.

🔥 Kesimpulan Akhir:
Semua perusahaan dalam dataset ini memiliki indikasi penghindaran pajak yang kuat.
Perusahaan Alpha & Epsilon memiliki rasio pajak yang paling rendah.

Hasil






M Score Identifikasi Potensi Pajak






  1. Tren M-Score → Untuk melihat apakah perusahaan dengan skor tinggi memiliki pola khusus.
  2. Perbandingan Penjualan vs Piutang → Untuk melihat apakah peningkatan kepuasan tidak wajar.
  3. Pendapatan Bersih vs Arus Kas Operasi → Untuk melihat apakah laba meningkat tetapi arus kas stagnan.
  4. Potensi Pajak Terutang → Untuk memperjelas estimasi pajak yang kurang dibayar.

Interpretasi Grafik:

  1. Tren Beneish M-Skor

    • Semua perusahaan memiliki M-Score di atas -2.22 , yang berarti terindikasi manipulasi laporan keuangan .
    • Perusahaan ke-4 memiliki M-Score tertinggi (0.6757) , yang menunjukkan risiko ketidaksesuaian tertinggi .
  2. Perbandingan Penjualan vs Piutang

    • Piutang meningkat signifikan dibandingkan Penjualan , terutama pada perusahaan ke-3, ke-4, dan ke-5.
    • Hal ini bisa menjadi indikasi pengakuan pendapatan yang agresif atau fiktif .
  3. Laba Bersih vs Arus Kas Operasional

    • Pendapatan Bersih jauh lebih tinggi dibandingkan Operasi Arus Kas , yang berarti ada kemungkinan manipulasi akrual .
    • Idealnya, arus kas operasi seharusnya berbanding lurus dengan laba bersih.
  4. Potensi Pajak Terutang

    • Perusahaan ke-4 memiliki potensi pajak tertinggi (132,000) , yang bisa menjadi fokus utama pemeriksaan pajak.

Kesimpulan dan Rekomendasi:

Semua perusahaan dalam dataset memiliki indikasi ketidaksesuaian berdasarkan Beneish M-Score.
Peningkatan perolehan yang lebih besar dari penjualan mengindikasikan potensi pengakuan pendapatan fiktif.
Laba bersih yang lebih tinggi dari arus kas operasi menunjukkan kemungkinan manipulasi akrual.
Total potensi pajak yang bisa dikoreksi: Rp 451,000.

Rekomendasi:

  • Audit lebih lanjut terhadap perusahaan dengan M-Score tertingg

  • Hasil Perhitungan Beneish M-Score dan Deteksi Fraud**

Beneish M-Score dihitung berdasarkan 8 indikator utama. Jika **M-Score > -2.22**, maka perusahaan terindikasi melakukan manipulasi laporan keuangan.

 

Indeks

M-Skor

Indikator Penipuan

Keterangan

0

-1.7203

Terindikasi Tidak Sesuai

M-Score mendekati batas -2.22

1

-1.6135

Terindikasi Tidak Sesuai

M-Score mendekati batas -2.22

2

-0,8879

Terindikasi Tidak Sesuai

M-Score mendekati batas -2.22

3

0,1804

Terindikasi Tidak Sesuai

M-Score mendekati batas -2.22

4

0,6757

Terindikasi Tidak Sesuai

M-Score mendekati batas -2.22

Temuan: 

- Semua perusahaan dalam dataset memiliki M-Score lebih besar dari -2.22, sehingga semuanya terindikasi melakukan manipulasi laporan keuangan.  

- Perusahaan ke-4 (indeks 4) memiliki M-Score tertinggi (0.6757), yang menunjukkan kemungkinan belum sesuai terbesar.  

2. Akun Keuangan yang Berpotensi Bermasalah

Analisis lebih lanjut dilakukan pada akun-akun keuangan utama dari perusahaan yang terindikasi penipuan:

Indeks

Penjualan

Piutang

Margin Kotor

Laba Bersih

Arus Kas Operasional

Potensi Pajak

0

1.000.000

250.000

450.000

250.000

180.000

55000

1

1.200.000

300.000

550.000

300.000

200.000

66.000

2

1.500.000

500.000

700.000

400.000

250.000

88.000

3

1.800.000

800.000

850.000

500.000

300.000

110.000

4

2.000.000

1.000.000

950.000

600.000

350.000

132.000


Temuan Utama:

1. Peningkatan Piutang (Piutang) yang Tidak Wajar  

   - Perusahaan dengan penjualan meningkat, tetapi piutang naik drastis, bisa menunjukkan pengakuan pendapatan fiktif atau agresif.  

   - Misalnya, pada indeks 4, kredit naik hingga 50% dari penjualan (1 juta dari 2 juta).

2. Margin Kotor Tetap Tinggi  

   - Biasanya, saat penjualan meningkat, margin kotor bisa mengalami tekanan karena biaya produksi.  

   - Namun, dalam kasus ini, margin kotor tetap tinggi, yang bisa mengindikasikan perbedaan biaya produksi atau beban pokok penjualan.

3. Pendapatan Bersih yang Meningkat Tajam, tapi Arus Kas Relatif Lebih Rendah  

   - Jika laba bersih naik drastis tetapi arus kas operasi (cash flow ops) tidak naik sebanding, bisa jadi ada manipulasi akrual.  

   - Misalnya, pada indeks 4, laba bersih mencapai 600,000, tetapi arus kas operasi hanya 350,000.

3. Potensi Pajak yang Harus Dibayar

Jika laba yang dimanipulasi dikenakan pajak dengan tarif 22%, berikut potensi pajak yang harus dioperasikan:

Indeks

Laba Bersih (Laba)

Potensi Pajak (22%)

0

250.000

55.000

1

300.000

66.000

2

400.000

88.000

3.

500.000

110.000

4.

600.000

132.000


Total potensi pajak dari seluruh perusahaan: 451.000.  

Jika terbukti manipulasi, maka total pajak yang bisa dikoreksi oleh otoritas pajak mencapai 451 ribu.


4. Kesimpulan dan Rekomendasi

Temuan utama:  

✔ Semua perusahaan dalam dataset ini memiliki indikasi penipuan berdasarkan Beneish M-Score.  

✔ Piutang meningkat signifikan → Bisa menunjukkan pengakuan pendapatan fiktif.  

✔ Laba naik tajam, tapi arus kas tidak sebanding → Indikasi manipulasi akrual.  

✔ Potensi pajak yang bisa dikoreksi: 451 ribu.

Rekomendasi:  

✅ Audit lebih lanjut untuk memastikan tidak ada manipulasi pendapatan atau akrual yang berlebihan.  

✅ Fokus pemeriksaan pada akun piutang dan arus kas operasi.  

✅ Otoritas pajak dapat melakukan investigasi terhadap perusahaan dengan M-Score tertinggi untuk estimasi pajak tambahan.  


 impor panda sebagai pd
def hitung_skor_m(df):
    """
    Menghitung Beneish M-Score dari DataFrame
    """
    DSRI = df['Piutang_Saat Ini'] / df['Penjualan_Saat Ini'] / (df['Piutang_Sebelumnya'] / df['Penjualan_Sebelumnya'])
    GMI = (df['Margin_Kotor_Sebelumnya'] / df['Margin_Kotor_Saat Ini'])
    AQI = ((1 - (df['Aset_Lancar'] - df['PPE_Lancar'] - df['Piutang_Lancar']) / df['Aset_Lancar'])) / \
          ((1 - (df['Aset_Sebelumnya'] - df['PPE_Sebelumnya'] - df['Piutang_Sebelumnya']) / df['Aset_Sebelumnya']))
    SGI = df['Penjualan_Saat Ini'] / df['Penjualan_Sebelumnya']
    DEPI = (df['Penyusutan_Sebelumnya'] / (df['PPE_Sebelumnya'] + 1e-6)) / (df['Penyusutan_Saat Ini'] / (df['PPE_Saat Ini'] + 1e-6))
    SGAI = (df['SGA_Saat Ini'] / df['Penjualan_Saat Ini']) / (df['SGA_Sebelumnya'] / df['Penjualan_Sebelumnya'])
    TATA = (df['Pendapatan_Bersih'] - df['Operasi_Arus_Kas']) / df['Aset_Lancar']
    LVGI = (df['Total_Kewajiban_Lancar'] / df['Total_Aset_Lancar']) / (df['Total_Kewajiban_Sebelumnya'] / df['Total_Aset_Sebelumnya'])
    df['M_Score'] = (-4,84 + (0,92 * DSRI) + (0,528 * GMI) + (0,404 * AQI) + 
                     (0,892 * SGI) + (0,115 * DEPI) - (0,172 * SGAI) + (4,679 * TATA) - (0,327 * LVGI))
    kembali df
def mendeteksi_penipuan(df):
    """
    Menentukan apakah ada indikasi manipulasi berdasarkan M-Score
    """
    df['Indikator_Penipuan'] = df['Skor_M'] > -2,22
    kembali df
def hitung_potensi_pajak(df, tarif_pajak=0,22):
    """
    Menghitung potensi pajak terutang akibat laba penipuan
    """
    df['Potensi_Pendapatan_Penipuan'] = df['Indikator_Penipuan'] * df['Pendapatan_Bersih']
    df['Potensi_Pajak'] = df['Potensi_Pendapatan_Penipuan'] * tarif_pajak
    kembali df
def menganalisis_akun_penipuan(df):
    """
    Analisis potensi penipuan dari masing-masing akun keuangan
    """
    akun_penipuan = df[df['Indikator_Penipuan']]
    analisis = akun_penipuan[['Penjualan_Lancar', 'Piutang_Lancar', 'Margin_Kotor_Lancar', 
                               'Pendapatan_Bersih', 'Arus_Kas_Operasi', 'Potensi_Pajak']]
    analisis pengembalian
# Contoh penggunaan dengan DataFrame dummy yang menunjukkan indikasi penipuan
datanya = {
    'Penjualan_Saat Ini': [1000000, 1200000, 1500000, 1800000, 2000000],
    'Penjualan_Sebelumnya': [900000, 1000000, 1200000, 1500000, 1800000],
    'Piutang_Lancar': [250000, 300000, 500000, 800000, 1000000], #Meningkat signifikan
    'Piutang_Sebelumnya': [140000, 150000, 170000, 190000, 220000],
    'Gross_Margin_Current': [450000, 550000, 700000, 850000, 950000], # Ditekan agar mempengaruhi GMI
    'Margin_Kotor_Sebelumnya': [450000, 500000, 600000, 750000, 900000],
    'Aset_Lancar': [5000000, 5500000, 6000000, 7000000, 8000000],
    'Aset_Sebelumnya': [4800000, 5000000, 5500000, 6000000, 7000000],
    'PPE_Saat Ini': [2000000, 2200000, 2500000, 3000000, 3500000],
    'PPE_Sebelumnya': [1800000, 2000000, 2200000, 2500000, 3000000],
    'Penyusutan_Saat Ini': [100000, 120000, 140000, 160000, 180000],
    'Penyusutan_Sebelumnya': [90000, 100000, 120000, 140000, 160000],
    'SGA_Saat Ini': [100000, 110000, 120000, 140000, 160000],
    'SGA_Sebelumnya': [90000, 100000, 110000, 120000, 140000],
    'Pendapatan_Bersih': [250000, 300000, 400000, 500000, 600000], #Laba meningkat signifikan
    'Operasi_Arus_Kas': [180000, 200000, 250000, 300000, 350000],
    'Total_Kewajiban_Lancar': [3000000, 3200000, 3500000, 4000000, 4500000],
    'Total_Kewajiban_Sebelumnya': [2800000, 3000000, 3200000, 3500000, 4000000],
    'Total_Aset_Lancar': [5000000, 5500000, 6000000, 7000000, 8000000],
    'Total_Aset_Sebelumnya': [4800000, 5000000, 5500000, 6000000, 7000000]
}
df = pd.DataFrame(data)
df = hitung_skor_m(df)
df = deteksi_penipuan(df)
df = hitung_potensi_pajak(df)
analisis_penipuan = analisis_akun_penipuan(df)
cetak(df[['M_Score', 'Indikator_Penipuan', 'Potensi_Pajak']])
cetak(analisis_penipuan)



Don't be Hijacked

Don't be Hijacked.