Diomongin dululah...ditanya-tanya
Ada etikanya
Eko Susilo, S.T, C.FAP, C.RM, C.FLS.. (akademik dan non akademik- 081535327473) Tidak merasa lebih tahu, tapi berusaha untuk tahu itu adalah baik. Anggota IAI, (Anggota IRMAPA/GRC (Indonesia Risk Management Professional Association-Governance, Risk, & Compliance), Anggota IAMI (Institut Akuntan Manajemen Indonesia, Anggota ISI (Ikatan Surveyor Indonesia) : tulisannya : apa aja dalam Catatanku ini
Re-Branding font tulisan Indonesia Maju. Saya merasa "not comfort" mengenai tulisan "Indonesia Maju" dibuat sedemikian rupa. Maka saya berharap ada rebranding ulang mengenai hal tersebut melalui media sosial saya.
Silabus dapat didefinisikan sebagai “garis besar, ringkasan, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran”. Silabus digunakan untuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum berupa penjabaran lebih lanjut dari standar kompetensi dan kemampuan dasar yang ingin dicapai, dan pokok-pokok serta uraian materi yang perlu dipelajari siswa dalam mencapai standar kompetensi dan kemampuan dasar.
Silabus adalah salah satu komponen perangkat pembelajaran dari rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata pelajaran dengan tema tertentu, yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan.
(wikipedia)
Silabus : dulu
Jadi "meremember aja" aja mengenai silabus mata kuliah S-1 saya di UGM, ini dapat postingan dari senior saya (sekarang Dosen di UGM) yaitu mengenai Ilmu Hukum Perdata di tahun 1971.
Ada mata kuliah Ilmu Hukum Perdata I s.d III.
Kalau di zaman saya di Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Agraria 1 s.d III.
Jadi begini ya mengenai KUPON DIGITAL DTP
KUPON DTP : DALAM TINJAUAN ADMINISTRASI TERBATAS
Pajak DTP atau Pajak Ditanggung Pemerintah merupakan pembayaran pajak yang ditanggung pemerintah dengan cara mengakui beban belanja subsidi dan pada saat bersamaan mengakui penerimaan perpajakan dalam jumlah yang sama (in out) (1) . Dengan demikian dikarenakan tidak adanya konsep penerimaan pajak yang merupakan sumber pemasukan ke kas negara maka proses pencatatan dicatat dari sisi pemasukan bersumber bukan dari Wajib Pajak. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut menimbulkan beberapa hal yaitu :
Dampak bagi Wajib Pajak adalah adanya pengurangan kewajiban pajak yang seharusnya dibayar. Bahwa pajak yang seharusnya dibayar dan terutang tersebut merupakan penerimaan pajak bagi Pemerintah yang bersumber dari APBN yang dibebankan dalam suatu masa waktu tertentu. Dalam ketentuan yang sampai saat ini ada pengertian mengenai DTP tersebut memberikan dampak "berkurangnya" penerimaan yang "seharusnya" diterima dan tercatat dalam APBN sebagai suatu sumber penerimaan negara dari sektor perpajakan. Bahwa dalam ketentuan yang mengatur mengenai penerimaan negara dalam berbagai jenis pajak yang dapat dibebankan sebagai suatu bentuk subsidi kepada masyarakat mencakup jenis Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai.
Bagaimana suatu Pajak DTP tersebut dicatat dalam sistem administrasi penerimaan pajak?. Ketentuan yang sampai saat dilakukan adalah dengan cara mencatat suatu pengeluaran dari beban APBN dan kemudian dicatat kembali dengan mekanisme pembayaran dengan Surat Setoran Pajak (SSP) dengan dibubuhi stempel atau cap. Bahwa pencatatan bagi Pemerintah bersumber dari pengeluaran yang tercatat di Direktorat Jenderal Perbendaraan Negara sebagai suatu bentuk pencatatan pemasukan dari Pajak DTP sedangkan dari sisi Direktorat Jenderal Pajak merupakan suatu pencatatan dalam bentuk SSP yang isinya merupakan relaisasi penerimaan Pajak yang ditanggung. Lalu bagaimana dari sisi Wajib Pajak?. Apakah dengan memberikan suatu catatan tersebut merupakan proses pencatatan yang dituangkan dalam suatu "bukti" yang mencantumkan nilai pemasukan dalam kas Wajib Pajak karena ditanggung?.
Kembali pada pengaturan, bahwa pajak yang terutang merupakan pajak yang harus dibayarkan ke Pemerintah dengan jumlah tertentu dengan jenis pajak tertentu. Frasa jumlah adalah suatu keharusan agar dapat tercatat, tercatat dalam administrasi pemerintahan dan administrasi perpajakan Wajib Pajak.
Kupon menurut pengertiannya dalam KBBI adalah surat kecil atau karcis yang dapat ditukarkan dengan barang atau untuk membeli barang dan sebagainya. Diartikan kupon dimaksud bukan merupakan pengertian kupon untuk obligasi. Jadi kupon disini diartikan sebagai suatu surat kecil yang dapat ditukarkan dengan barang atau untuk membeli barang dan sebagainya, Dalam kupon tercantum suatu suatu jumlah pajak yang terutang yang sudah diperhitungkan oleh Wajib Pajak yang kemudian dimintakan melalui suatu aplikasi berbasis web dan mendapatkan validasi tertentu dengan teknologi barcode atau QR Code.
Berlanjut :
(1) catatan mengenai Pajak Ditanggung Pemerintah, bersumber dari
kenapa PNS bisa kurang bayar dalam SPT-nya?.
Ketika membaca suatu kalimat, yang dicari adalah isi atau makna, atau maksud dari kalimat tersebut. Saya tidak boleh menggeser isi atau makna atau maksud nya, kecuali mengenai persamaan kata.
====
make a trust that makes calm and relieved in obligation as well as certainty
====
Siapa yang Wajib membubuhkan meterai dalam hal penerimaan uang?.
Jawab : yang menerima uang.titik.
====
say no if no and say yes if yes and not disguise something or regulated or not regulated, can read and interpret, if asking sometimes requires confirmation or just confirming.
That' make Trust.
====
kenapa PNS bisa kurang bayar dalam SPT-nya?.
Kalau bicara soal manfaat atau faedah saja, logikanya khan sederhana, itu jelas apa tidak, manfaatnya bagi siapa?. Siapa yang bertanggung jawab?. Apakah ada unsur paksaan dan lebih etis lagi apakah itu diatur dalam UU dan atau setidaknya apakah ada unsur "kesepakatan". Apakah itu kesepakatan?.
Ya..mufakat diantara yang setuju.
Enggak bisa juga bicara soal manfaat saja trus enggak ngerti juga siapa posisinya, apa dasar hukumnya atau sekedar menjelaskan dengan baik dan sebenarnya.
Apa-apa yang terfikir itu karena berfikir dan logika berfikir (aku).
Apapun itu, saya berkesan dengan sosoknya saat dulu di tahun 2006, saya berkutat di Pasal 10 UU PPh , tapi anyway, saat ini dan dulu saya sebagai konsumen saja mengenai ini :
Begini tertulis dalam Pasal 10 UU PPh tersebut :
"Ketentuan ini mengatur tentang cara penilaian harta, termasuk persediaan, dalam rangka menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan, menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan"
Sebagian penjelasanya :
Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Dan Pasal 1 angka 18 UU PPN:
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Jadi kalau Faktur Pajak itu dipisah antara BKP dan JKP termasuk di dalamnya ada unsur biaya, maka ketentuan tersebut termasuk di dalamnya (sesuai).
Kalau secara teknis menulis, setelah mencantumkan "harga barang" lalu ada option apakah ada biaya sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut.
Kalau selama ini dipisah, maka dipastikan merupakan faktur pajak yang terpisah antara harga jual dengan biayanya, tapi apakah saya akan menyebut itu harga jual? Ataulah harga barang tanpa disertai biaya?.
Karena ada kata "dan" dan frasa "termasuk" maka atas penulisan dan prakteknya jika digabung akan menjadi harga jual.
Kalau harga barang + biaya = harga jual, maka saat pembuatan faktur pajaknya akan menjadi dua yaitu atas pengenaan PPN atas harga barang dan PPN atas biaya.
Jika dilakukan secara terpisah maka akan terbit 2 faktur pajak yaitu untuk barang dan biayanya.
Jika hanya dengan mengenakan PPN atas harga barang saja sedangkan atas biaya dibebankan sebagai biaya dalam L/R maka pengenaannya hanya pada pemotongan PPh pasal 23 ke jasa kurir dan PPN (mendapat PM untuk jasa kurir).
Lalu apakah bisa "harga barang =harga jual?". , menurut saya tidak karena frasa "dan" frasa "termasuk" dan frasa "seharusnya" untuk barang-barang dan jasa tertentu.
Tentu akan berbeda jika langkahnya adalah :
1. Menentukan harga barang
2. Menentukan apakah ada biaya terkait barang yang dijual
3. Menjumlahkan harga barang dan biayanya
Jika tidak, apakah ada unsur kesepakatan saat dilakukan transaksi dan memastikan mengenai biaya-biaya tersebut.
Lalu bagaimana?.
Ya......Disesuaikan Saja.
Kalau saya, sebenarnya saat saya membeli barang, urusan biaya bukan merupakan urusan saya karena harga sudah ditetapkan saat barang tersebut dijual atau jasa tersebut diserahkan (udah ada formula Selling Pricenya) atau bagaimana kalau mengenai pencatatan dalam dokumen yang dibuat "baku" antara harga barang dan biaya yang melekat (produksi dan distribusi) dengan UU dengan contoh yang jelas.
Jadi begitu ya kira-kira...!
Terima kasih sebelum dan sesudahnya
Thanks before and after
how to make use of a good area naming to carry out the function ?. A certain area usually consists of a regency, city and / or municipality. The regional unit performs functions as coordinated by a wider area. In order to facilitate the subordinate and coordinating functions, the 'control' of areas in charge of several regencies or cities or municipalities uses their functions in a broader unit. why is that ?. To facilitate the framework of 'unification' of the regions referred to in functions (me-aku).