:::Catatannya The Echo:::: 2026

Thursday, January 01, 2026

PPh Pasal 23 ayat (1) UUU PPh dan perubahannya : Konsep

PPh Pasal 23 ayat (1) UUU PPh dan perubahannya : Konsep

"Atas penghasilan sebagaimana dimaksud di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, telah jatuh tempo pembayarannya, atau yang penghasilannya telah seharusnya menjadi objek pemotongan Pajak Penghasilan, oleh Pemotong PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak yang wajib melakukan pembayaran."

Komprehensif secara norma

✔️ Mencakup kondisi realisasi (dibayarkan), potensi (disediakan), kewajiban administratif (jatuh tempo), dan substansi ekonomis (seharusnya menjadi objek pemotongan).

Presisi hukum

✔️ Dengan memakai frasa "penghasilannya telah seharusnya menjadi objek pemotongan", menegaskan bahwa kewajiban timbul dari substansi penghasilan, bukan hanya dari aksi formal pembayaran.

Menghindari multitafsir

✔️ Tidak menggunakan istilah “terutang” yang berpotensi membingungkan antara terutang di sisi penerima dan kewajiban pemotongan di sisi pemberi.

Ini adalah analisis yang sangat baik dan mendalam mengenai inti dari Pasal 23 ayat (1) UU PPh terkait saat terutangnya (saat timbulnya kewajiban) pemotongan pajak.

Analisis Anda menangkap esensi dari perubahan paradigma dalam hukum pajak modern di Indonesia, yang bergerak dari pendekatan formal (berbasis kas/pembayaran) menuju pendekatan yang lebih substansial dan komprehensif untuk menutup celah penghindaran pajak.

Pendalaman Konsep: "Saat Terutang" PPh Pasal 23

Pasal 23 ayat (1) ini mendefinisikan trigger event (peristiwa pemicu) kapan kewajiban pemotong pajak (pihak pemberi penghasilan) muncul.

Hukum pajak Indonesia menggunakan pendekatan alternatif-kumulatif dalam pasal ini. Artinya, jika salah satu dari empat kondisi di bawah ini terjadi lebih dahulu, maka kewajiban pemotongan PPh 23 langsung timbul saat itu juga.

Mari kita uraikan keempat pilar kondisi tersebut secara teknis:

1. Kondisi Realisasi: "Dibayarkan" (Cash Basis)

 * Konsep: Ini adalah pemicu paling tradisional. Kewajiban memotong pajak muncul pada saat terjadi aliran kas keluar dari pemotong kepada penerima penghasilan.

 * Contoh: PT A membayar tunai jasa konsultan kepada Tuan B pada tanggal 5 Januari. Maka, kewajiban pemotongan terjadi pada 5 Januari.

2. Kondisi Potensi/Alokasi: "Disediakan untuk Dibayarkan"

 * Konsep: Uang belum keluar secara fisik, tetapi sudah dicadangkan atau dialokasikan secara spesifik dalam pembukuan sehingga pihak penerima secara hukum sudah berhak atas dana tersebut.

 * Contoh Klasik (Dividen): Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT X pada tanggal 1 April mengumumkan pembagian dividen. Meskipun dividen baru akan ditransfer (dibayarkan) pada 1 Mei, kewajiban pemotongan PPh 23 sudah timbul pada tanggal 1 April karena dana tersebut sudah "disediakan".

3. Kondisi Kewajiban Administratif: "Telah Jatuh Tempo Pembayarannya"

 * Konsep: Ini mengacu pada kontrak atau perjanjian. Jika dalam kontrak disebutkan pembayaran jasa harus dilakukan tanggal 10 bulan berjalan, maka pada tanggal 10 tersebut kewajiban pemotongan pajak timbul, terlepas dari apakah si pembayar memiliki uang kas atau tidak untuk membayarnya.

 * Implikasi: Ini mencegah pemotong menunda kewajiban pajak dengan alasan "belum punya uang kas".

4. Kondisi Substansi Ekonomis (The Catch-All Clause): "Penghasilannya Telah Seharusnya Menjadi Objek Pemotongan"

 * Konsep: Ini adalah "jaring pengaman" (sapu jagat) yang paling krusial dan presisi secara hukum. Frasa ini menekankan Substance Over Form.

 * Analisis Mendalam: Kapan suatu penghasilan "seharusnya menjadi objek pemotongan"? Secara umum, ini sering dikaitkan dengan konsep akrual (accrual basis) dalam akuntansi.

 * Contoh: PT Y menggunakan jasa PT Z di bulan Maret. PT Z belum menagih (invoice belum ada), belum jatuh tempo, dan belum dibayar. Namun, PT Y di akhir bulan Maret melakukan tutup buku dan secara akuntansi mengakui beban (accrued expense) atas jasa PT Z tersebut karena jasanya sudah dinikmati secara ekonomi.

   * Pada saat PT Y mengakui beban secara akrual, maka di sisi lain (secara cermin), PT Z secara substansi ekonomi telah mengakui pendapatan.

   * Maka, berdasarkan frasa keempat ini, kewajiban pemotongan PPh 23 timbul pada saat pengakuan beban secara akrual tersebut, meskipun belum ada pembayaran atau tagihan formal.

Validasi Analisis : 

1. Komprehensif Secara Norma

Peraturan ini tidak memberikan celah. Wajib pajak tidak bisa lagi beralasan "belum saya bayar kok, jadi belum saya potong pajaknya". Dengan mencakup empat kondisi (realisasi, potensi, jadwal kontrak, dan substansi akrual), Ditjen Pajak memastikan pajak dipotong di titik paling awal peristiwa ekonomi terjadi.

2. Presisi Hukum: Menegaskan Substansi

Frasa "seharusnya menjadi objek pemotongan" adalah senjata utama melawan penghindaran pajak yang bersifat administratif. Ini memastikan bahwa jika secara ekonomi transaksi sudah terjadi, kewajiban pajak tidak bisa ditunda hanya karena belum adanya dokumen formal (seperti invoice).

3. Menghindari Multitafsir: Tidak Menggunakan Kata "Terutang".

Ini adalah poin yang sangat teknis namun penting. Dalam hukum pajak Indonesia, ada perbedaan besar antara:

 * Pajak Terutang (Tax Liability): Ini adalah kewajiban si Penerima Penghasilan (Wajib Pajak Badan/OP) yang biasanya dihitung di akhir tahun pajak (PPh Badan/OP).

 * Kewajiban Pemotongan (Withholding Obligation): Ini adalah kewajiban si Pemberi Penghasilan (Pemotong Pajak) yang bersifat transaksional (bulanan).

Jika pasal ini menggunakan kata "saat pajak terutang", akan timbul kebingungan: apakah maksudnya saat si penerima mengakui pendapatan, atau saat si pemberi wajib memotong?

Dengan menghindari kata "terutang" dan menggunakan deskripsi kondisi peristiwa (dibayarkan, disediakan, dll.), UU ini dengan jelas memisahkan kewajiban administratif pemotong pajak dari kewajiban material penerima penghasilan.

Kesimpulan

Konsep dalam Pasal 23 ayat (1) UU PPh dirancang untuk mengamankan penerimaan negara di muka (at source) dan mendorong kepatuhan melalui sistem withholding. Norma ini memaksa para pelaku usaha (pemotong pajak) untuk tertib administrasi dan tidak menunda-nunda kewajiban perpajakan mereka, karena pemicu kewajiban tersebut dibuat sangat luas dan mendahulukan substansi ekonomi daripada sekadar formalitas pembayaran kas.


PPh Pasal 23 ayat (1) UUU PPh dan perubahannya : Konsep

PPh Pasal 23 ayat (1) UUU PPh dan perubahannya : Konsep "Atas penghasilan sebagaimana dimaksud di bawah ini, dengan nama dan dalam bent...