:::Catatannya The Echo:::: 12/01/2025 - 01/01/2026

Wednesday, December 24, 2025

Antara licik, pintar/pandai, dan jenius

1️⃣ Licik
Fokus: niat & cara Sifat utama: manipulatif, tidak jujur, menghalalkan cara
Menggunakan kecerdikan tanpa etika
Berorientasi hasil jangka pendek
Bergantung pada celah, tipu daya, atau kelemahan orang lain
Intinya: Licik bukan ukuran kecerdasan, tapi kualitas moral dalam menggunakan akal.
2️⃣ Pintar / Pandai
Fokus: kemampuan kognitif praktis. Sifat utama: cepat memahami, mampu menyelesaikan masalah
Menguasai pengetahuan atau keterampilan tertentu
Bisa belajar cepat dan menerapkan aturan
Umumnya operasional dan teknis
Catatan penting:
Pintar sering dipakai untuk kecerdasan umum
Pandai sering dipakai untuk kecakapan spesifik (pandai berhitung, pandai bicara)
Intinya: Pintar/pandai = mampu memahami dan mengerjakan dengan benar.
3️⃣ Cerdas (penghubung)
(Saya tambahkan karena sering jadi jembatan makna)
Fokus: penalaran & penilaian
Mampu menimbang konteks
Tidak hanya tahu, tapi tahu kapan dan bagaimana
Cerdas = pintar + bijaksana secara situasional.
4️⃣ Jenius
Fokus: lompatan kognitif & orisinalitas. Sifat utama: melampaui pola umum
Menciptakan konsep, teori, atau pendekatan baru
Melihat hubungan yang tidak terlihat oleh orang lain
Dampaknya struktural dan jangka panjang
Intinya: Jenius bukan hanya cepat, tapi mampu mengubah cara berpikir.
5️⃣ Ringkasan Perbandingan
IstilahIntiEtikaDampak
LicikKecerdikan manipulatifRendahJangka pendek
PintarKapasitas memahamiNetralFungsional
PandaiKeterampilan spesifikNetralPraktis
CerdasPenilaian kontekstualTinggiTepat guna
JeniusTerobosan pemikiranVariatifJangka panjang

Kesimpulan : 
Licik itu bukan pintar tingkat tinggi.
Pintar belum tentu cerdas.
Cerdas belum tentu jenius.
Jenius bisa pintar, tapi tidak perlu licik.



Saturday, December 20, 2025

Cintaku Tak Terbatas Waktu


Percaya Diri

 

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 24/PUU-XXII/2024

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 24/PUU-XXII/2024


telah menetapkan atas Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dapat diajukan permohonan peninjauan kembali (selanjutnya disebut “PK”) kepada Mahkamah

Agung, kecuali oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 

Friday, December 19, 2025

"Wong wis elek, ora usah dielek-elek" (Orang yang sudah buruk, tidak perlu diperburuk lagi) adalah sebuah prinsip tentang menjaga martabat diri sendiri agar tidak ikut terjatuh ke dalam lumpur yang sama.

Membiarkan Lumpur Mengendap

​Tak perlu kau aduk telaga yang sudah keruh,
Sebab tanganku dan tanganmu hanya akan ikut kotor menyeluruh.
Biarkan ia dengan warnanya, biarkan ia dengan aromanya,
Sebab kebusukan tak butuh pengeras suara untuk dikenal semesta.
​Jika hatinya telah berkarat oleh dengki yang pekat,
Jangan kau tambahkan noda pada bibirmu yang masih sehat.
Mencela yang buruk takkan membuatmu terlihat lebih suci,
Hanya akan membuatmu terjebak dalam lingkaran benci yang sunyi.
​Biarlah waktu menjadi saksi yang paling jujur,
Tentang siapa yang tulus dan siapa yang terkubur dalam kufur.
Sebab pohon yang akarnya busuk akan tumbang dengan sendirinya,

​Simpanlah tuturmu untuk doa-doa yang lebih bermakna,
Jaga hatimu agar tetap jernih di tengah dunia yang fana.
Sebab pada akhirnya, membiarkan yang buruk berlalu tanpa dicela,
Adalah kasta tertinggi dari sebuah jiwa yang merdeka.

Thursday, December 18, 2025

Monday, December 15, 2025

Rewrited Again : Membetulkan SPT:My Opinion-rewrited-edisi 2025

 

Membetulkan SPT:My Opinion-rewrited


Pasal 8
(1)Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atau melalui himbauan atau klarifiasi dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

(1a) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.

(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

(2a)  Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang  mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Seandainya SPT yang dibetulkan itu ada tambahan frasa kalimat "yang dilakukan melewati batas tanggal berakhirnya tanggal jatuh temposehingga menjadi :

Ayat (1) : 
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atau melalui himbauan atau klarifikasi data dan atau keterangan dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

Ayat (2) dan Ayat (2a) : 

"Wajib Pajak yang membetulkan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang mengakibatkan pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar, yang dilakukan melewati batas tanggal berakhirnya tanggal jatuh tempo pembayaran dikenai sanksi administratif sebesar 1% (satu persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar.

atau

"Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang mengakibatkan pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar, yang dilakukan melewati batas tanggal berakhirnya tanggal jatuh tempo pembayaran dikenai sanksi administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar.


Penjelasan :
Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa Pembayar Pajak dapat membetulkan SPT atas kemauan sendiri (self assesment) atau berdasarkan surat himbauan (skala prioritas).

Alasan :
Pembayar pajak diberikan kesempatan atas kemauan sendiri sampai dengan batas waktu belum dilakukan pemeriksaan atau penyidikan.


Kenapa demikian?.
Intinya : 
1. kemauan Wajib Pajak dan Ada tindakan atas kewenangan Petugas Pajak 
2. yang dilakukan melewati batas tanggal berakhirnya tanggal jatuh tempo pembayaran
3. melakukan pembetulan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran berakhir


Ini memberikan kesempatan untuk pembayar pajak agar melakukan pembetulan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran berakhir untuk masa pajak tersebut sehingga dapat meningkatkan penerimaan di masa pajak yang bersangkutan dan beban administrasi pajak menjadi lebih efisien.
Kenapa efisien?. karena tidak menyebabkan adanya sanksi administrasi yang diterbitkan dan penerimaan pajak dapat diterima di saat masa pajak belum berakhir.

Friday, December 12, 2025

PPM + STP (Pasal 14 ayat (3)

PPM + STP. 

PPM + STP Pasal 14 ayat (3),  Misal Pasal 25 angsuran 6 bulan + STP 4 bulan + angsuran.

Ngijon ki kalau mekanisme pembayaran mingguan dalam akuntansi (ada di penjelasan UU ini) ada cfm KUHPerdata.

Mekanisme hutang kalau tidak ya tidak boleh. Itupun dilakukan oleh kedua belah pihak dan tahu dan sadar akan mekanisme saat terutangnya kapan.

Monday, December 08, 2025

Sunday, December 07, 2025

Measurement Data




Sumber Data : Dummy kreasi penulis

Teori Manajemen Kinerja Modern
  • Menekankan multidimensional appraisal: bukan hanya kuantitas, tapi juga kualitas, perilaku, dan kontribusi organisasi.
  • Prinsip fairness: proporsionalitas, outcome-based, transparansi.
  • Model bobot 50% hasil kerja, 30% perilaku, 20% kontribusi organisasi → sesuai dengan teori balanced scorecard dan performance-based appraisal.
Teori ROI & Sensitivitas
  • ROI harus dihitung dari outcome nyata (temuan tervalidasi, kepatuhan, efisiensi).
  • Sensitivitas terhadap error rate → sesuai dengan teori risk-adjusted performance, di mana kualitas tinggi memberi buffer terhadap risiko.
 
​Interpretasi Visual Singkat
​Baris A (Kualitas Tinggi): Secara visual, batang Kualitas (300) jauh lebih tinggi daripada batang Kuantitas (30). Ini menegaskan bahwa A adalah spesialis kualitas yang mengutamakan kedalaman daripada volume.

​Baris B (Throughput/Volume Tinggi): Batang Kuantitas (300) adalah yang tertinggi dalam kelompoknya, sementara batang Kualitas (120) berada di tingkat menengah. Ini menunjukkan fokus pada throughput yang besar.

​Baris E (Risiko Kualitas): Batang Kuantitas (278) sangat tinggi (hampir menyamai B), tetapi batang Kualitas (86) berada di posisi terendah. Secara visual, ini adalah kesenjangan terbesar antara volume dan akurasi, menunjukkan perlunya perbaikan kualitas mendesak.
​Perbandingan ini menegaskan bahwa:
​Nilai Bestfit terletak pada Baris A (Kualitas >> Kuantitas).
​Keseimbangan terletak pada Baris B (Kuantitas Tinggi, Kualitas Cukup).
​Risiko Terbesar terletak pada Baris E (Kuantitas Tinggi, Kualitas Rendah).



A (Kualitas 300, ROI 3.0) → berada di pojok kanan atas, jelas mendominasi. Ini menegaskanbahwa kualitas tinggi membuat ROI jauh lebih tahan terhadap error.
B (120, ROI 1.2) → menengah, masih cukup kuat, tapi jauh di bawah A.
C (97, ROI 0.97) → baseline stabil, ROI mendekati 1.
D (87, ROI 0.87) dan E (86, ROI 0.86) → keduanya di bawah 1, menunjukkan ROI rendah dan rapuh terhadap error.

NASKAH FINAL — ANALISIS MENYELURUH MEMORANDUM RECORDS (1984–2025)

NASKAH FINAL — ANALISIS MENYELURUH MEMORANDUM RECORDS (1984–2025)
(Versi Akademik, Mendalam, Siap Digunakan dalam Tesis/Kajian Hukum Pajak)

I. ANALISIS HISTORIS 1984–2025

1. Periode 1984 – Lahirnya Konsep Pencatatan (Foundational Period)
UU 6/1983 (KUP) untuk pertama kalinya membedakan:
WP pembukuan, dan
WP yang cukup melakukan “pencatatan” (Pasal 28 ayat 7–9).
Konsep ini setara dengan memorandum records secara fungsional:
single-entry
berbasis kas
berfungsi administratif, bukan akuntansi
Pada 1984 inilah dasar hukum MR muncul, meskipun istilah formalnya belum dipakai.
2. Periode 1994 – Konsolidasi Administratif
Revisi UU 1994 mempertahankan dualisme “pembukuan vs pencatatan”.
DJP secara praktis mulai menggunakan:
rekonsiliasi data pihak ketiga,
analisis arus kas,
net worth analysis, dan
expenditure comparison.
Pencatatan menjadi bukti pemeriksaan meskipun belum distandarisasi.
3. Periode 2000–2007 – Modernisasi Administrasi Pajak
Dalam rangka modernisasi sistem administrasi:

Single-entry diaries (MR) dipakai luas untuk rekonstruksi penghasilan OP.
Pemeriksa melakukan bank deposit method, cash transaction test.
MR menjadi “pseudo-bookkeeping” bagi WP kecil.
Periode ini penting karena MR menjadi bagian dari evidence-based assessment.
4. Periode 2007 – Revisi UU KUP
UU 28/2007 mempertegas struktur:
Pembukuan wajib untuk WP Badan/OP tertentu,
Pencatatan tetap sah sebagai rezim alternatif.
Konsep MR mendapatkan legitimasi legal lanjutan.
5. Periode 2009 – PER-4/PJ/2009 (Tonggak Administratif Pertama)
PER-4/PJ/2009 pertama kali:
mendefinisikan unsur minimal pencatatan,
mewajibkan catatan pemasukan, pengeluaran, harta, utang,
menyaratkan bukti transaksi.
Inilah formal birth memorandum records sebagai dokumen administratif.
6. Periode 2013–2016 – PSAK ETAP & SAK EMKM
IAI menerbitkan standar akuntansi UMKM, tetapi:
hanya untuk entitas pembukuan,
tidak berlaku bagi WP non-pembukuan,
tidak menghapus pencatatan.
Dualisme akuntansi–administrasi semakin menguat.
7. Periode 2018 – PP 23/2018 (Level PP Pertama untuk MR)
PP 23/2018 menetapkan:

omzet ≤ 4,8 M = cukup pencatatan,
pencatatan = basis administrasi pajak.
Ini adalah pengakuan tertinggi MR secara hukum setelah UU KUP.
8. Periode 2021 – PMK 54/2021
PMK ini menetapkan:
dokumen minimal,
bukti elektronik,
arsip digital,
mutasi bank.
MR bergerak dari dokumen informal menjadi administrative evidence.
9. Periode 2023–2025 – API–PNE–AKB (Era Penilaian Kemampuan Bayar)
Konsep baru:
MR = determinan kualitas dalam penetapan pajak,
MR di-score (0–20),
memengaruhi API, PNE, dan AKB.
MR berubah dari catatan pasif menjadi input analitis untuk penetapan pajak.

II. ANALISIS HUKUM (LEGAL ANALYSIS)
A. Hirarki Hukum Memorandum Records
1. Undang-Undang (UU KUP)
Pasal 28 ayat 7–9: WP boleh mencatat.
→ dasar hukum tertinggi.
2. PP 23/2018
Mengafirmasi rezim pencatatan.
→ legitimasi tingkat PP.
3. PMK 54/2021
Mendefinisikan “dokumen minimal”.
→ kewajiban administratif.
4. PER-4/PJ/2009
Petunjuk teknis.
→ instrumen pelaksanaan.
5. Draft PMK AKB 2023–2025
MR direkognisi sebagai data penilaian kemampuan bayar.
Kesimpulan:
MR memiliki legal-binding force yang sah dalam tata hukum perpajakan Indonesia.

B. Mengapa MR Bukan PSAK (Argumen Legal-Akuntansi)
Argumentasi hukum-akuntansi lengkap:
1. PSAK berlaku untuk entitas pelapor
OP non-buku bukan entitas pelapor → PSAK tidak melekat.
2. PSAK berbasis akrual – MR berbasis kas
3. PSAK double-entry – MR single-entry
4. MR tidak memenuhi kualifikasi laporan keuangan menurut IFRS:
relevance,
faithful representation,
verifiability,
comparability.
5. MR adalah alat administrasi, bukan laporan keuangan.
6. MR tidak diaudit, tidak tunduk ke SPAP.
C. Status Yuridis Final
> MR = Dokumen Administrasi Negara yang sah digunakan untuk rekonstruksi penghasilan, penetapan pajak, dan penilaian kemampuan bayar, tetapi bukan standar akuntansi.

III. ANALISIS ADMINISTRASI NEGARA & KEBIJAKAN
A. MR dalam Teori Administrasi Publik: Administrative Substitution
Ketika standar profesional tidak tersedia (non-bookkeeping taxpayer), negara membuat administrative substitute untuk menjaga fungsi fiskal.
MR adalah substitusi administratif atas pembukuan.
B. MR sebagai Instrumen Reduksi Beban Kepatuhan
Untuk WP kecil, cost of bookkeeping > benefit.
MR menurunkan compliance costt.
C. MR sebagai Tahap Kepatuhan Bertahap (Staged Compliance)
Model global:
Australia: Simplified Accounts
Belanda: Memorandum Books
Malaysia: Basic Records
US IRS: Statement of Cash Receipts & Expenses
Indonesia mengadopsi pola internasional.

IV. ANALISIS AKUNTANSI (NON-PSAK)
A. MR = Memorandum Account
Sifat:
non-ledger,
tidak memengaruhi akun riil,
tidak bisa membentuk neraca akrual.
B. MR = Single Entry Accounting
Karakter:
mencatat kas masuk–keluar saja,
tidak mencatat:
modal,
penyusutan,
piutang,
persediaan,
accruals.
C. MR tidak memenuhi IFRS Conceptual Framework
Karena tidak memenuhi kriteria:
representational faithfulness,
verifiability,
timeliness,
understandability,
completeness.

V. ANALISIS KONSEP & TEORI
1. Policy Vacuum Theory
Ketika standar akuntansi tidak dapat diterapkan → birokrasi menciptakan standar administratif.
2. Ability-to-Pay Principle
MR menjadi jembatan untuk mengukur kemampuan bayar WP kecil.
3. Administrative Feasibility
Kebijakan harus feasible → pembukuan tidak feasible bagi UMKM mikro.
4. Cost–Benefit Optimization
MR adalah solusi efisiensi administrasi pajak.

VI. ANALISIS KEBIJAKAN PEMBATASAN 4,8 MILIAR
Batas ini berasal dari:
angka historis PP 46/2013 → diteruskan di PP 23/2018,
global threshold untuk small business tax regime,
analisis kapasitas kepatuhan,
segmentasi risiko.
Implikasi kebijakan:
≤ 4,8 M → MR cukup
> 4,8 M → pembukuan wajib (PSAK/ETAP/EMKM)

VII. ANALISIS MR DALAM API–PNE–AKB
1. API (Analisis Penghasilan Indikatif)
Digunakan bila MR lengkap dan konsisten.
2. PNE (Penyesuaian Normal Ekonomi)
Digunakan bila MR ada tetapi kualitasnya rendah.
3. AKB (Analisis Kemampuan Bayar)
Digunakan bila MR tidak tersedia atau kualitas sangat rendah.
MR Score (0–20) menentukan metode mana yang dipakai.

VIII. ANALISIS RISIKO & MITIGASI
A. Risiko
Self-reporting bias,
transaksi luar buku,
mismatch vs mutasi bank,
kualitas bukti rendah,
pemeriksa harus rekonstruksi manual,
potensi over-enforcement jika kualitas MR buruk.
B. Mitigasi
MR scoring,
rekonsiliasi bank digital,
data pihak ketiga (PPAT, bank, OJK),
integrasi e-payment,
algoritma deteksi outlier.

IX. ANALISIS EMPIRIS (DENGAN STRUCTURE DATA DUMMY)
A. Variabel Dummy
MR_score (0–20)
Metode_penilaian (API=2, PNE=1, AKB=0)
  1. Omset
  2. Pengeluaran
  3. Penambahan_harta
  4. Selisih_penetapan
  5. Sektor_usaha
  6. Status_kepatuhan
B. Model Analisis
  1. Logistic regression : Prediksi metode penetapan berdasarkan MR_score.
  2. OLS regression : Dampak MR_score terhadap selisih penetapan.
  3. Construct validity : score vs verifiability of evidence.
  4. Inter-rater reliability
Konsistensi pemeriksa dalam menilai MR.

X. KESIMPULAN UTAMA
1. MR adalah instrumen administrasi pajak sah sejak 1984, diperkuat PP 23/2018.
2. MR bukan PSAK dan tidak akan pernah menjadi PSAK.
3. MR menjadi dasar penetapan pajak (API–PNE–AKB).
4. MR efektif menurunkan beban kepatuhan WP kecil.
5. MR perlu distandarisasi melalui scoring, digitalisasi, dan bukti pihak ketiga.
6. MR adalah basis kebijakan kemampuan bayar di era modern.


Friday, December 05, 2025

Opini Adjustment Profesional (Penyesuaian Pencatatan) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi: Landasan Hukum, Model Teoretis, dan Praktik Administratif

Tulisan Merupakan Pendapat Pribadi dan tidak emncerminkan pendapat Institusi.
Koheren dengan tulisan saya dengan judul : 

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 826/KMK.013/1992 di muat di halaman web saya di 

https://echodry.blogspot.com/2016/02/keputusan-menteri-keuangan-nomor.html

Pertanyaan dasarnya adalah :
1. Pencatatan Non Pembukuan Orang Pribadi itu menurut PSAK merupakan apa?.
2. Apakah ada ketentuan yang mengatur sampai saat ini?.
3. Kalau mengajukan pengurangan sanksi bagaimana?. Ukurannya apa?.
Opini Adjustment Profesional (Penyesuaian Pencatatan) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi: Landasan Hukum, Model Teoretis, dan Praktik Administratif

Abstrak
Penyesuaian pencatatan (professional adjustment) merupakan metode administratif yang digunakan fiskus ketika wajib pajak orang pribadi tidak menyelenggarakan pembukuan, tetapi hanya pencatatan sesuai PER-4/PJ/2009. Artikel ini menguraikan landasan hukum, model teoretis, teori kemampuan membayar (ability-to-pay principle), serta formulasi akademik bagaimana data objektif digunakan untuk menyimpulkan jumlah penghasilan bruto dan neto secara wajar (reasonable estimation). Studi ini memperlihatkan bahwa opini adjustment profesional merupakan mekanisme bridging antara ketidaklengkapan pencatatan WP dengan prinsip legal certainty dan fairness dalam pemungutan pajak.

1. Pendahuluan
Sebagian besar Wajib Pajak Orang Pribadi Non-Buku hanya menyelenggarakan pencatatan (record keeping), bukan pembukuan. Kondisi ini menimbulkan gap antara kewajiban perpajakan (UU KUP dan UU PPh) dengan kemampuan administratif WP. Oleh sebab itu, fiskus menggunakan Opini Adjustment Profesional, yaitu penilaian yang didasarkan pada:
a. Data objektif WP,
b. Prinsip ability to pay,
c. Kesebandingan transaksi,
d. Reasonable estimation berdasarkan standar pemeriksaan.
Opini ini penting untuk mencegah undue tax burden sekaligus menghindari underreporting akibat keterbatasan pencatatan WP.

2. Landasan Hukum Penyesuaian Pencatatan
2.1 UU 7/2021 (UU KUP)
UU KUP Pasal 12 dan Pasal 13 memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menerbitkan koreksi jika terdapat:
a. kekurangan pencatatan,
b. data yang lebih benar,
c. dan kewajiban perpajakan yang tidak terpenuhi.
(intisarinya)
Ini menjadi dasar bagi fiskus untuk melakukan adjustment berdasarkan data objektif.

2.2 PER-4/PJ/2009
Peraturan ini secara eksplisit menyatakan:
WP orang pribadi non-pembukuan hanya diwajibkan menyelenggarakan pencatatan sederhana.
Pencatatan boleh dilakukan dalam bentuk sederhana sepanjang memuat:
penghasilan, harta, kewajiban, biaya, dan bukit transaksi yang ada.
Karena pencatatan tidak lengkap, fiskus berwenang melakukan penyesuaian berdasarkan standar kewajaran.

2.3 PMK 54/2021
PMK ini memberikan prinsip penyusunan standar pemeriksaan berbasis:
a. data internal,
b. data eksternal,
c. third-party reporting,
d. kewajaran usaha sejenis.
Ini menjadi dasar metodologi professional judgement pemeriksa pajak.

2.4 Prinsip Ability to Pay
Prinsip ini adalah dasar konstitusional (Pasal 23A UUD 1945 secara tafsir akademik) bahwa pajak dipungut berdasarkan kemampuan membayar (economic capacity).
Implikasinya:
a. Fiskus boleh melakukan estimasi wajar atas penghasilan,
b. Tetapi tidak boleh menciptakan beban pajak melebihi kemampuan ekonomis yang objektif.

3. Kerangka Teoretis
3.1 Teori Estimasi Pajak (Tax Estimation Theory)
Dari Bird & Zolt (2019) dan OECD (2021):
Estimasi diperlukan ketika struktur pencatatan tidak lengkap.
Estimasi harus berbasis:
a. Objective data,
b. Comparable analysis,
c. Consistency,
d. Reasonable professional judgement.

3.2 Teori Kemampuan Membayar (Ability-to-Pay Principle)
Dikembangkan oleh Musgrave (1959), prinsip ini menyatakan bahwa beban pajak harus proporsional terhadap kapasitas ekonomi WP, bukan hanya data transaksional mentah.

Sehingga adjustment profesional harus menjaga horizontal equity dan vertical equity.

3.3 Model Ambiguitas Administratif (Matland, 1995)
Relevansi model Matland:
a. Norma: WP hanya wajib mencatat.
b. Administrasi:  butuh data untuk menghitung pajak yang benar.
➡ terjadi administrative ambiguity.
Opini adjustment berfungsi mengatasi ambiguitas itu secara profesional.

4. Model Akademik Opini Adjustment Profesional
4.1 Input Model
Data Pencatatan WP (incomplete)
Data Pihak Ketiga (valid)
Data ekonomi objektif:
a. rasio industri,
b. markup standar,c. 
indeks biaya rata-rata sektor.
Indikator ability-to-pay:
a. harta awal dan akhir,
b. kenaikan aset,
c. pola konsumsi besar.
4.2 Formula Akademik Penyesuaian
Model derived income method (Doyle & Kleven, 2020):
Income = C + Delta A + L
di mana:
C = konsumsi (identifikasi dari pengeluaran signifikan),
ΔA = perubahan aset,
L = pembayaran liabilitas.
Kemudian dikalibrasi:

Taxable Income = Income - Allowable Cost

Allowable Cost diperoleh dari:
a. bukti minimal,
b. proxy biaya sektor (OECD K-U Ratio)

4.3 Model Penilaian Risiko
Menggunakan kerangka OECD (Risk Management 2021):
a. Low → adjustment minimal, cukup rekonsiliasi bukti.
b. Medium → gunakan metode comparable dan ratio analysis.
c. High → gunakan metode net worth analysis dan source and application method.

5. Praktik Administratif Opini Adjustment
5.1 Langkah Sistematis
a. Analisis pencatatan WP.
b. Identifikasi kekurangan.
c. stimasi pendapatan kotor WP.
d. Estimasi biaya wajar (ability-to-pay + comparable).

Menyusun laporan Opini Adjustment Profesional:
a. basis data,
b. asumsi,
c. model estimasi,
d. justifikasi ilmiah,
e. hasil koreksi.
f. Diskusi dengan WP (due process).
g. Finalisasi dalam surat hasil pemeriksaan.

5.2 Kriteria Penyesuaian yang Wajar
Didasarkan data, bukan asumsi subyektif.
Konsisten dengan industri sejenis.
Memenuhi prinsip legal certainty.
Tidak memaksakan kewajiban melebihi realita ekonomi WP.

6. Studi Komparatif
6.1 Amerika Serikat (IRS)
IRS menggunakan income reconstruction melalui:
a. bank deposit method,
b. net worth method,
c. expenditures method.
Penyesuaian harus reasonable dan documented.

6.2 Jepang (NTA)
NTA menggunakan Economic Reality Method. Menekankan konsistensi antara aset–pencatatan–lifestyle.
Indonesia kompatibel dengan model ini, tetapi tidak ada istilah resmi professional adjustment; istilah ini merupakan terjemahan akademik dari fungsi pemeriksaan atau penelitian.
7. Kesimpulan
Opini Adjustment Profesional merupakan mekanisme penting untuk:
a. Menjembatani keterbatasan pencatatan WP orang pribadi.
b. Menjamin pemungutan berdasarkan ability to pay.
c. Memberikan keadilan horizontal antar WP.
d. Mengatasi ambiguitas administratif antara norma UU dan praktik pemeriksaan.

Model akademik yang digunakan meliputi:
a. derived income method,
b. net worth analysis,
c. consumption-based estimation,
d. prinsip ability-to-pay,
e. risk-based approach.

Maka, secara ilmiah dan administratif, penyesuaian pencatatan adalah bentuk profesional judgement yang sah, rasional, dan diperlukan.


Daftar Pustaka
Bird, R., & Zolt, E. (2019). Taxation and development. Edward Elgar.
Doyle, J., & Kleven, H. (2020). Income reconstruction in tax investigations. Journal of Public Economics, 185, 104–123.
Kirchler, E. (2007). Economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.
Matland, R. (1995). Ambiguity-conflict model. Journal of Public Administration Research and Theory, 5(2), 145–174.
Musgrave, R. (1959). The theory of public finance. McGraw-Hill.
OECD. (2021). Tax Administration: Comparative Information. OECD Publishing.

Thursday, December 04, 2025

Adjustment Profesional Pengukuran Likuiditas atau Kemampuan Bayar Orang Pribadi : Dulu Bahan Amanah atau Talenta kalau zaman sekarang

Pencatatan Non Pembukuan Orang Pribadi itu menurut PSAK merupakan apa?.

Tidak ada. Namun definisinya adalah Pencatatan adalah pencatatan pemasukan dan pengeluaran atau transaksi yang memengaruhi penghasilan dan kewajiban pajak, tanpa harus menyusun pembukuan formal (jurnal, buku besar, neraca, laba rugi).

Dalam SPT Tahunan di masukkan dalam Daftar Harta dan Daftar Utang

Jika Orang Pribadi hanya melakukan “pencatatan sederhana” (misalnya pendapatan & pengeluaran), regulasi pajak tidak mewajibkan Anda menghitung atau melaporkan likuiditas seperti rasio current ratio, quick ratio, dsb.

Membuat catatan sederhana seperti saldo kas & bank, utang jangka pendek, piutang, dapat digunakan menilai “likuiditas pribadi/usaha.” 

Apakah ada ketentuan yang mengatur sampai saat ini?.

Tidak ada ketentuan perundang‑undangan, pajak, atau standar akuntansi di Indonesia yang secara formal mewajibkan orang pribadi (non‑pembukuan) menghitung atau melaporkan likuiditas. 

Kalau mengajukan pengurangan sanksi bagaimana?. Ukurannya apa?.

Kalau konteksnya pengurangan sanksi pajak (tax relief atau remisi denda) di Indonesia, ukurannya dan prosedurnya tidak bergantung pada likuiditas secara formal, tetapi biasanya menggunakan kondisi kemampuan bayar, kesalahan administrasi, atau itikad baik  sebagai dasar.

Jadi :

Ketika WP ingin mengajukan pengurangan sanksi, beberapa ukuran yang biasa dipakai antara lain :
Kemampuan bayar (liquiditas/pribadi/perusahaan)
Rasio kas atau saldo likuid terhadap kewajiban pajak yang terutang dapat menjadi bukti.
Tidak ada rumus baku, tetapi WP menunjukkan kondisi keuangan yang membuktikan bahwa membayar seluruh denda akan menimbulkan kesulitan signifikan.
Itikad baik dan administrasi
WP segera melaporkan SPT dan membayar pajak meskipun terjadi keterlambatan.
Bukti usaha WP dalam memenuhi kewajiban pajak → faktor keringanan.
Kesalahan atau keadaan luar biasa.

Dokumentasi yang Dibutuhkan :
Bukti kondisi keuangan (rekening bank, saldo kas, piutang, utang jangka pendek) → ini adalah “pengukuran likuiditas” secara praktis
Bukti administrasi pajak (SPT, pembayaran pajak pokok)
Dokumen pendukung lain: surat dokter, surat kehilangan, atau dokumen force majeure

Kesimpulan :
Tidak ada standar rasio likuiditas resmi. Ukuran “kemampuan bayar” bersifat relatif dan didokumentasikan dengan bukti nyata kondisi kas/utang/piutang.
Dalam praktik, WP biasanya menunjukkan kas + setara kas vs kewajiban pajak dan denda → untuk menunjukkan proporsionalitas permohonan pengurangan.

Saldo Kas menggunakan formula :
Saldo Kas menggunakan formula :
Saldo = Pemasukan – Pengeluaran
Saldo = Saldo sebelumnya + Pemasukan – Pengeluaran

Tidak ada ketentuan perundang‑undangan, pajak, atau standar akuntansi di Indonesia yang secara formal mewajibkan orang pribadi (non‑pembukuan) menghitung atau melaporkan likuiditas.

Adjustment profesional untuk WP OP non-buku,

Model lainnya yang dapat digunakan adalah :
a. Model 1: Metode Komponen Sederhana (Simple Economic Component Method)
b. Model 2: Metode Penghasilan Neto Ekonomis (Economic Net Income Method)
c. Model 3: Metode Rasio Kemampuan Bayar (Ability to Pay Ratio Method)

Model 1: Komponen Sederhana
Penetapan kemampuan bayar menggunakan Model 1 dilakukan dengan rumus:
API = (Harta Bersih + Pengeluaran Konsumtif Tahunan + Penambahan Harta) – Penghasilan Dilaporkan.
Model ini digunakan apabila:
a. Wajib Pajak memiliki pencatatan sederhana;
b. Bukti transaksi tidak lengkap namun masih tersedia data harta dan pengeluaran utama;
c. Data harta dalam SPT Tahunan dan daftar harta lebih dominan dibanding data transaksi usaha.
Komponen Harta Bersih merujuk pada daftar harta dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, termasuk:
Tanah dan bangunan;
Kendaraan bermotor;
Kas dan setara kas;
Deposito, tabungan, dan giro;
Piutang;
Investasi (obligasi, saham, reksadana);
Logam mulia;
Harta bergerak lain;
Harta tidak berwujud.

Model 2: Penghasilan Neto Ekonomis
Penetapan penghasilan neto ekonomis dihitung dengan formula:
Penghasilan Neto Ekonomis = Kenaikan Harta + Pengeluaran Konsumtif + Penambahan Utang – Penambahan Piutang.
Model ini digunakan apabila:
a. Wajib Pajak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Terdapat bukti bahwa pengeluaran konsumtif signifikan;
c. Terdapat ketidaksesuaian yang nyata antara pencatatan usaha dengan perubahan harta.
(3) Penghasilan neto ekonomis dibandingkan dengan Penghasilan Neto SPT Tahunan untuk menilai kewajaran pelaporan.

Model 3: Rasio Kemampuan Bayar (AKB)
Rasio kemampuan bayar dihitung dengan rumus:
AKB = (Total Pengeluaran Ekonomis + Kenaikan Harta) / Penghasilan Neto SPT.
(2) Indikator ketidakwajaran ditetapkan sebagai berikut:
a. AKB > 1,2 → terdapat indikasi penghasilan yang belum dilaporkan;
b. AKB antara 0,8–1,2 → dianggap wajar;
c. AKB < 0,8 → terdapat indikasi pelaporan penghasilan yang lebih tinggi dari kondisi ekonomi sebenarnya.
(3) Model ini digunakan untuk:
a. Menilai kemampuan bayar dalam pengajuan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi pajak berdasarkan Pasal 36 UU KUP;
b. Wajib Pajak dengan konsumsi atau gaya hidup tidak sebanding dengan penghasilan SPT;
c. Wajib Pajak dengan pencatatan minimal.

Prioritas & Penggunaan Opsional
Penggunaan metode dilakukan dengan prioritas sebagai berikut:
a. Model 2 digunakan apabila data pencatatan dan bukti transaksi lebih lengkap;
b. Model 1 digunakan apabila bukti terbatas namun terdapat informasi harta dan konsumsi;
c. Model 3 digunakan apabila bukti minimal namun terdapat indikasi ketidakwajaran berdasarkan konsumsi atau gaya hidup.

Antara licik, pintar/pandai, dan jenius

1️⃣ Licik Fokus: niat & cara  Sifat utama: manipulatif, tidak jujur, menghalalkan cara Menggunakan kecerdikan tanpa etika Berorientasi...