:::Catatannya The Echo:::: Adjustment Profesional Pengukuran Likuiditas atau Kemampuan Bayar Orang Pribadi : Dulu Bahan Amanah atau Talenta kalau zaman sekarang

Thursday, December 04, 2025

Adjustment Profesional Pengukuran Likuiditas atau Kemampuan Bayar Orang Pribadi : Dulu Bahan Amanah atau Talenta kalau zaman sekarang

Pencatatan Non Pembukuan Orang Pribadi itu menurut PSAK merupakan apa?.

Tidak ada. Namun definisinya adalah Pencatatan adalah pencatatan pemasukan dan pengeluaran atau transaksi yang memengaruhi penghasilan dan kewajiban pajak, tanpa harus menyusun pembukuan formal (jurnal, buku besar, neraca, laba rugi).

Dalam SPT Tahunan di masukkan dalam Daftar Harta dan Daftar Utang

Jika Orang Pribadi hanya melakukan “pencatatan sederhana” (misalnya pendapatan & pengeluaran), regulasi pajak tidak mewajibkan Anda menghitung atau melaporkan likuiditas seperti rasio current ratio, quick ratio, dsb.

Membuat catatan sederhana seperti saldo kas & bank, utang jangka pendek, piutang, dapat digunakan menilai “likuiditas pribadi/usaha.” 

Apakah ada ketentuan yang mengatur sampai saat ini?.

Tidak ada ketentuan perundang‑undangan, pajak, atau standar akuntansi di Indonesia yang secara formal mewajibkan orang pribadi (non‑pembukuan) menghitung atau melaporkan likuiditas. 

Kalau mengajukan pengurangan sanksi bagaimana?. Ukurannya apa?.

Kalau konteksnya pengurangan sanksi pajak (tax relief atau remisi denda) di Indonesia, ukurannya dan prosedurnya tidak bergantung pada likuiditas secara formal, tetapi biasanya menggunakan kondisi kemampuan bayar, kesalahan administrasi, atau itikad baik  sebagai dasar.

Jadi :

Ketika WP ingin mengajukan pengurangan sanksi, beberapa ukuran yang biasa dipakai antara lain :
Kemampuan bayar (liquiditas/pribadi/perusahaan)
Rasio kas atau saldo likuid terhadap kewajiban pajak yang terutang dapat menjadi bukti.
Tidak ada rumus baku, tetapi WP menunjukkan kondisi keuangan yang membuktikan bahwa membayar seluruh denda akan menimbulkan kesulitan signifikan.
Itikad baik dan administrasi
WP segera melaporkan SPT dan membayar pajak meskipun terjadi keterlambatan.
Bukti usaha WP dalam memenuhi kewajiban pajak → faktor keringanan.
Kesalahan atau keadaan luar biasa.

Dokumentasi yang Dibutuhkan :
Bukti kondisi keuangan (rekening bank, saldo kas, piutang, utang jangka pendek) → ini adalah “pengukuran likuiditas” secara praktis
Bukti administrasi pajak (SPT, pembayaran pajak pokok)
Dokumen pendukung lain: surat dokter, surat kehilangan, atau dokumen force majeure

Kesimpulan :
Tidak ada standar rasio likuiditas resmi. Ukuran “kemampuan bayar” bersifat relatif dan didokumentasikan dengan bukti nyata kondisi kas/utang/piutang.
Dalam praktik, WP biasanya menunjukkan kas + setara kas vs kewajiban pajak dan denda → untuk menunjukkan proporsionalitas permohonan pengurangan.

Saldo Kas menggunakan formula :
Saldo Kas menggunakan formula :
Saldo = Pemasukan – Pengeluaran
Saldo = Saldo sebelumnya + Pemasukan – Pengeluaran

Tidak ada ketentuan perundang‑undangan, pajak, atau standar akuntansi di Indonesia yang secara formal mewajibkan orang pribadi (non‑pembukuan) menghitung atau melaporkan likuiditas.

Adjustment profesional untuk WP OP non-buku,

Model lainnya yang dapat digunakan adalah :
a. Model 1: Metode Komponen Sederhana (Simple Economic Component Method)
b. Model 2: Metode Penghasilan Neto Ekonomis (Economic Net Income Method)
c. Model 3: Metode Rasio Kemampuan Bayar (Ability to Pay Ratio Method)

Model 1: Komponen Sederhana
Penetapan kemampuan bayar menggunakan Model 1 dilakukan dengan rumus:
API = (Harta Bersih + Pengeluaran Konsumtif Tahunan + Penambahan Harta) – Penghasilan Dilaporkan.
Model ini digunakan apabila:
a. Wajib Pajak memiliki pencatatan sederhana;
b. Bukti transaksi tidak lengkap namun masih tersedia data harta dan pengeluaran utama;
c. Data harta dalam SPT Tahunan dan daftar harta lebih dominan dibanding data transaksi usaha.
Komponen Harta Bersih merujuk pada daftar harta dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, termasuk:
Tanah dan bangunan;
Kendaraan bermotor;
Kas dan setara kas;
Deposito, tabungan, dan giro;
Piutang;
Investasi (obligasi, saham, reksadana);
Logam mulia;
Harta bergerak lain;
Harta tidak berwujud.

Model 2: Penghasilan Neto Ekonomis
Penetapan penghasilan neto ekonomis dihitung dengan formula:
Penghasilan Neto Ekonomis = Kenaikan Harta + Pengeluaran Konsumtif + Penambahan Utang – Penambahan Piutang.
Model ini digunakan apabila:
a. Wajib Pajak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Terdapat bukti bahwa pengeluaran konsumtif signifikan;
c. Terdapat ketidaksesuaian yang nyata antara pencatatan usaha dengan perubahan harta.
(3) Penghasilan neto ekonomis dibandingkan dengan Penghasilan Neto SPT Tahunan untuk menilai kewajaran pelaporan.

Model 3: Rasio Kemampuan Bayar (AKB)
Rasio kemampuan bayar dihitung dengan rumus:
AKB = (Total Pengeluaran Ekonomis + Kenaikan Harta) / Penghasilan Neto SPT.
(2) Indikator ketidakwajaran ditetapkan sebagai berikut:
a. AKB > 1,2 → terdapat indikasi penghasilan yang belum dilaporkan;
b. AKB antara 0,8–1,2 → dianggap wajar;
c. AKB < 0,8 → terdapat indikasi pelaporan penghasilan yang lebih tinggi dari kondisi ekonomi sebenarnya.
(3) Model ini digunakan untuk:
a. Menilai kemampuan bayar dalam pengajuan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi pajak berdasarkan Pasal 36 UU KUP;
b. Wajib Pajak dengan konsumsi atau gaya hidup tidak sebanding dengan penghasilan SPT;
c. Wajib Pajak dengan pencatatan minimal.

Prioritas & Penggunaan Opsional
Penggunaan metode dilakukan dengan prioritas sebagai berikut:
a. Model 2 digunakan apabila data pencatatan dan bukti transaksi lebih lengkap;
b. Model 1 digunakan apabila bukti terbatas namun terdapat informasi harta dan konsumsi;
c. Model 3 digunakan apabila bukti minimal namun terdapat indikasi ketidakwajaran berdasarkan konsumsi atau gaya hidup.

No comments:

Antara licik, pintar/pandai, dan jenius

1️⃣ Licik Fokus: niat & cara  Sifat utama: manipulatif, tidak jujur, menghalalkan cara Menggunakan kecerdikan tanpa etika Berorientasi...