Kalau yang dilaporkan atau dibicarakan jeleknya lalu yang baiknya letaknya dimana?.
Jeleknya aja belum tentu jelek juga. Nah lho.
Eko Susilo, S.T, M.A.P. Berusaha untuk tahu tentang ilmu adalah baik. Anggota IAI, (Anggota IRMAPA/GRC (Indonesia Risk Management Professional Association-Governance, Risk, Compliance), Anggota IAMI (Institut Akuntan Manajemen Indonesia, Anggota ISI (Ikatan Surveyor Indonesia) : tulisannya : apa aja dalam Catatanku ini
Kalau yang dilaporkan atau dibicarakan jeleknya lalu yang baiknya letaknya dimana?.
Jeleknya aja belum tentu jelek juga. Nah lho.
NASKAH FINAL — ANALISIS MENYELURUH MEMORANDUM RECORDS (1984–2025)
(Versi Akademik, Mendalam, Siap Digunakan dalam Tesis/Kajian Hukum Pajak)
I. ANALISIS HISTORIS 1984–2025
1. Periode 1984 – Lahirnya Konsep Pencatatan (Foundational Period)
UU 6/1983 (KUP) untuk pertama kalinya membedakan:
WP pembukuan, dan
WP yang cukup melakukan “pencatatan” (Pasal 28 ayat 7–9).
Konsep ini setara dengan memorandum records secara fungsional:
single-entry
berbasis kas
berfungsi administratif, bukan akuntansi
Pada 1984 inilah dasar hukum MR muncul, meskipun istilah formalnya belum dipakai.
2. Periode 1994 – Konsolidasi Administratif
Revisi UU 1994 mempertahankan dualisme “pembukuan vs pencatatan”.
DJP secara praktis mulai menggunakan:
rekonsiliasi data pihak ketiga,
analisis arus kas,
net worth analysis, dan
expenditure comparison.
Pencatatan menjadi bukti pemeriksaan meskipun belum distandarisasi.
3. Periode 2000–2007 – Modernisasi Administrasi Pajak
Dalam rangka modernisasi sistem administrasi:
Single-entry diaries (MR) dipakai luas untuk rekonstruksi penghasilan OP.
Pemeriksa melakukan bank deposit method, cash transaction test.
MR menjadi “pseudo-bookkeeping” bagi WP kecil.
Periode ini penting karena MR menjadi bagian dari evidence-based assessment.
4. Periode 2007 – Revisi UU KUP
UU 28/2007 mempertegas struktur:
Pembukuan wajib untuk WP Badan/OP tertentu,
Pencatatan tetap sah sebagai rezim alternatif.
Konsep MR mendapatkan legitimasi legal lanjutan.
5. Periode 2009 – PER-4/PJ/2009 (Tonggak Administratif Pertama)
PER-4/PJ/2009 pertama kali:
mendefinisikan unsur minimal pencatatan,
mewajibkan catatan pemasukan, pengeluaran, harta, utang,
menyaratkan bukti transaksi.
Inilah formal birth memorandum records sebagai dokumen administratif.
6. Periode 2013–2016 – PSAK ETAP & SAK EMKM
IAI menerbitkan standar akuntansi UMKM, tetapi:
hanya untuk entitas pembukuan,
tidak berlaku bagi WP non-pembukuan,
tidak menghapus pencatatan.
Dualisme akuntansi–administrasi semakin menguat.
7. Periode 2018 – PP 23/2018 (Level PP Pertama untuk MR)
PP 23/2018 menetapkan:
omzet ≤ 4,8 M = cukup pencatatan,
pencatatan = basis administrasi pajak.
Ini adalah pengakuan tertinggi MR secara hukum setelah UU KUP.
8. Periode 2021 – PMK 54/2021
PMK ini menetapkan:
dokumen minimal,
bukti elektronik,
arsip digital,
mutasi bank.
MR bergerak dari dokumen informal menjadi administrative evidence.
9. Periode 2023–2025 – API–PNE–AKB (Era Penilaian Kemampuan Bayar)
Konsep baru:
MR = determinan kualitas dalam penetapan pajak,
MR di-score (0–20),
memengaruhi API, PNE, dan AKB.
MR berubah dari catatan pasif menjadi input analitis untuk penetapan pajak.
II. ANALISIS HUKUM (LEGAL ANALYSIS)
A. Hirarki Hukum Memorandum Records
1. Undang-Undang (UU KUP)
Pasal 28 ayat 7–9: WP boleh mencatat.
→ dasar hukum tertinggi.
2. PP 23/2018
Mengafirmasi rezim pencatatan.
→ legitimasi tingkat PP.
3. PMK 54/2021
Mendefinisikan “dokumen minimal”.
→ kewajiban administratif.
4. PER-4/PJ/2009
Petunjuk teknis.
→ instrumen pelaksanaan.
5. Draft PMK AKB 2023–2025
MR direkognisi sebagai data penilaian kemampuan bayar.
Kesimpulan:
MR memiliki legal-binding force yang sah dalam tata hukum perpajakan Indonesia.
B. Mengapa MR Bukan PSAK (Argumen Legal-Akuntansi)
Argumentasi hukum-akuntansi lengkap:
1. PSAK berlaku untuk entitas pelapor
OP non-buku bukan entitas pelapor → PSAK tidak melekat.
2. PSAK berbasis akrual – MR berbasis kas
3. PSAK double-entry – MR single-entry
4. MR tidak memenuhi kualifikasi laporan keuangan menurut IFRS:
relevance,
faithful representation,
verifiability,
comparability.
5. MR adalah alat administrasi, bukan laporan keuangan.
6. MR tidak diaudit, tidak tunduk ke SPAP.
C. Status Yuridis Final
> MR = Dokumen Administrasi Negara yang sah digunakan untuk rekonstruksi penghasilan, penetapan pajak, dan penilaian kemampuan bayar, tetapi bukan standar akuntansi.
III. ANALISIS ADMINISTRASI NEGARA & KEBIJAKAN
A. MR dalam Teori Administrasi Publik: Administrative Substitution
Ketika standar profesional tidak tersedia (non-bookkeeping taxpayer), negara membuat administrative substitute untuk menjaga fungsi fiskal.
MR adalah substitusi administratif atas pembukuan.
B. MR sebagai Instrumen Reduksi Beban Kepatuhan
Untuk WP kecil, cost of bookkeeping > benefit.
MR menurunkan compliance costt.
C. MR sebagai Tahap Kepatuhan Bertahap (Staged Compliance)
Model global:
Australia: Simplified Accounts
Belanda: Memorandum Books
Malaysia: Basic Records
US IRS: Statement of Cash Receipts & Expenses
Indonesia mengadopsi pola internasional.
IV. ANALISIS AKUNTANSI (NON-PSAK)
A. MR = Memorandum Account
Sifat:
non-ledger,
tidak memengaruhi akun riil,
tidak bisa membentuk neraca akrual.
B. MR = Single Entry Accounting
Karakter:
mencatat kas masuk–keluar saja,
tidak mencatat:
modal,
penyusutan,
piutang,
persediaan,
accruals.
C. MR tidak memenuhi IFRS Conceptual Framework
Karena tidak memenuhi kriteria:
representational faithfulness,
verifiability,
timeliness,
understandability,
completeness.
V. ANALISIS KONSEP & TEORI
1. Policy Vacuum Theory
Ketika standar akuntansi tidak dapat diterapkan → birokrasi menciptakan standar administratif.
2. Ability-to-Pay Principle
MR menjadi jembatan untuk mengukur kemampuan bayar WP kecil.
3. Administrative Feasibility
Kebijakan harus feasible → pembukuan tidak feasible bagi UMKM mikro.
4. Cost–Benefit Optimization
MR adalah solusi efisiensi administrasi pajak.
VI. ANALISIS KEBIJAKAN PEMBATASAN 4,8 MILIAR
Batas ini berasal dari:
angka historis PP 46/2013 → diteruskan di PP 23/2018,
global threshold untuk small business tax regime,
analisis kapasitas kepatuhan,
segmentasi risiko.
Implikasi kebijakan:
≤ 4,8 M → MR cukup
> 4,8 M → pembukuan wajib (PSAK/ETAP/EMKM)
VII. ANALISIS MR DALAM API–PNE–AKB
1. API (Analisis Penghasilan Indikatif)
Digunakan bila MR lengkap dan konsisten.
2. PNE (Penyesuaian Normal Ekonomi)
Digunakan bila MR ada tetapi kualitasnya rendah.
3. AKB (Analisis Kemampuan Bayar)
Digunakan bila MR tidak tersedia atau kualitas sangat rendah.
MR Score (0–20) menentukan metode mana yang dipakai.
VIII. ANALISIS RISIKO & MITIGASI
A. Risiko
Self-reporting bias,
transaksi luar buku,
mismatch vs mutasi bank,
kualitas bukti rendah,
pemeriksa harus rekonstruksi manual,
potensi over-enforcement jika kualitas MR buruk.
B. Mitigasi
MR scoring,
rekonsiliasi bank digital,
data pihak ketiga (PPAT, bank, OJK),
integrasi e-payment,
algoritma deteksi outlier.
IX. ANALISIS EMPIRIS (DENGAN STRUCTURE DATA DUMMY)
A. Variabel Dummy
MR_score (0–20)
Metode_penilaian (API=2, PNE=1, AKB=0)
Omset
Pengeluaran
Penambahan_harta
Selisih_penetapan
Sektor_usaha
Status_kepatuhan
B. Model Analisis
1. Logistic regression
Prediksi metode penetapan berdasarkan MR_score.
2. OLS regression
Dampak MR_score terhadap selisih penetapan.
3. Construct validity
MR_score vs verifiability of evidence.
4. Inter-rater reliability
Konsistensi pemeriksa dalam menilai MR.
X. KESIMPULAN UTAMA
1. MR adalah instrumen administrasi pajak sah sejak 1984, diperkuat PP 23/2018.
2. MR bukan PSAK dan tidak akan pernah menjadi PSAK.
3. MR menjadi dasar penetapan pajak (API–PNE–AKB).
4. MR efektif menurunkan beban kepatuhan WP kecil.
5. MR perlu distandarisasi melalui scoring, digitalisasi, dan bukti pihak ketiga.
6. MR adalah basis kebijakan kemampuan bayar di era modern.
Pencatatan Non Pembukuan Orang Pribadi itu menurut PSAK merupakan apa?.
Tidak ada. Namun definisinya adalah Pencatatan adalah pencatatan pemasukan dan pengeluaran atau transaksi yang memengaruhi penghasilan dan kewajiban pajak, tanpa harus menyusun pembukuan formal (jurnal, buku besar, neraca, laba rugi).
Dalam SPT Tahunan di masukkan dalam Daftar Harta dan Daftar Utang
Jika Orang Pribadi hanya melakukan “pencatatan sederhana” (misalnya pendapatan & pengeluaran), regulasi pajak tidak mewajibkan Anda menghitung atau melaporkan likuiditas seperti rasio current ratio, quick ratio, dsb.
Membuat catatan sederhana seperti saldo kas & bank, utang jangka pendek, piutang, dapat digunakan menilai “likuiditas pribadi/usaha.”
Apakah ada ketentuan yang mengatur sampai saat ini?.
Tidak ada ketentuan perundang‑undangan, pajak, atau standar akuntansi di Indonesia yang secara formal mewajibkan orang pribadi (non‑pembukuan) menghitung atau melaporkan likuiditas.
Kalau mengajukan pengurangan sanksi bagaimana?. Ukurannya apa?.
Kalau konteksnya pengurangan sanksi pajak (tax relief atau remisi denda) di Indonesia, ukurannya dan prosedurnya tidak bergantung pada likuiditas secara formal, tetapi biasanya menggunakan kondisi kemampuan bayar, kesalahan administrasi, atau itikad baik sebagai dasar.
Jadi :
750.000 itu kecil...waduh???>>>>
Begini kalau 750.000 itu kalau dikalikan dengan 50.000 maka akan ketemu menjadi Rp37.500.000.000 setahun. Kalau hampir 1 juta orang maka akan ketemu :Rp750.000.000.000
jika dibelikan kendaraan, rumah dan bus akan menghasilkan :
| Kategori | Harga per Unit | Perkiraan Jumlah |
|---|
| Bus | Rp1 miliar | = 750 unit |
| Rumah | Rp1 miliar = | 750 unit |
| Kendaraan | Rp300 juta | = 2.500 unit |
Doa Agar Penerimaan Pajak Tercapai
Bismillahirrahmanirrahim.
Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami memohon kepada-Mu kekuatan, kecermatan, dan keikhlasan dalam menjalankan amanah mengelola penerimaan negara.
Ya Allah, berkahilah setiap usaha kami dalam menghimpun penerimaan pajak.
Lapangkanlah jalan kami untuk mencapai target yang telah ditetapkan demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Karuniakan kepada kami keteguhan hati, integritas, dan profesionalisme.
Jauhkanlah kami dari kekeliruan, kelalaian, serta segala bentuk hambatan yang menghalangi tercapainya penerimaan negara.
Ya Allah, lembutkanlah hati para Wajib Pajak agar mereka memahami, mendukung, dan patuh dalam melaksanakan kewajibannya.
Anugerahkanlah kepada bangsa ini rezeki yang luas, kegiatan ekonomi yang tumbuh, serta keberkahan pada setiap transaksi yang menjadi sumber penerimaan negara.
Jadikanlah penerimaan pajak ini sebagai jalan untuk memperkuat pembangunan, menegakkan keadilan fiskal, dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Rabbana, terimalah doa dan ikhtiar kami.
Bangunlah negeri ini dengan pertolongan-Mu.
Amin ya Rabbal ‘alamin.
Rumusan “Regulasi Pemaaf Substansi” sebagai Solusi Ambiguitas Administrasi
Regulasi pemaaf substansi adalah mekanisme normatif yang memberikan toleransi terhadap kesalahan formal atau ketidaktepatan administratif sepanjang substansi kewenangan, fungsi, dan tujuan tindakan pemerintahan tetap terpenuhi.
Mekanisme ini menjadi solusi atas ambiguitas administrasi, karena memfokuskan penilaian pada kesesuaian materiil (material compliance) alih-alih kepatuhan bentuk (formal compliance). Dengan demikian, ketidaktepatan istilah, format, atau nomenklatur yang tidak mempengaruhi esensi kewenangan tidak menimbulkan cacat hukum yang membatalkan tindakan administratif tersebut.
Regulasi pemaaf substansi merupakan pendekatan yuridis-administratif yang memaafkan kekeliruan formal selama substansi tindakan administrasi pemerintahan telah sesuai dengan tujuan, kewenangan, dan norma dasar yang mengatur. Regulasi ini bekerja sebagai instrumen korektif untuk mereduksi ambiguitas administrasi, khususnya ketika terdapat perbedaan antara ketentuan normatif dan praktik birokrasi. Dalam pendekatan ini, kesalahan yang bersifat terminologis, teknis, atau prosedural yang tidak memengaruhi validitas kewenangan dianggap sebagai “cacat administratif yang dapat diperbaiki” (rectifiable defect), bukan sebagai “cacat yang membatalkan” (fatal defect).
Dengan demikian, regulasi pemaaf substansi memungkinkan tindakan administrasi tetap sah dan berlaku sepanjang tujuan hukum tercapai (goal attainment) dan tidak terdapat penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir). Pendekatan ini menjaga stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, mencegah ketidakpastian hukum, serta mengatasi ambiguitas administratif yang muncul akibat ketidaksinkronan norma, misalnya penggunaan nomenklatur lama dalam dokumen resmi meskipun struktur kelembagaan telah berubah
Bona fide pada dasarnya tidak hanya bermakna iktikad baik, tetapi juga mencakup pengertian bahwa suatu tindakan administrasi dianggap benar pada masanya, yaitu benar menurut standar hukum, pengetahuan, dan praktik birokrasi pada saat tindakan itu dilakukan. Dengan demikian, kekeliruan terminologis atau administratif yang muncul kemudian tidak otomatis membatalkan tindakan tersebut, sepanjang pada saat itu tindakan tersebut dilakukan secara jujur, tanpa niat buruk, dan sejalan dengan norma yang berlaku pada periode tersebut..
Regulasi pemaaf substansi bekerja efektif ketika tindakan administratif yang tampak keliru secara formal tetap bona fide pada masanya, yakni benar dan wajar menurut standar administratif periode tersebut.
Terkait dengan data di weblog ini bersumber dari :
A. Dummy data
B. Data sekunder publish di web sumber
Tidak ada data primer atau bersumber langsung atau data dari instansi manapun kecuali yang sudah di publish dan menjadi data bersifat publik.
Dalam teori sistem (Katz & Kahn), organisasi dipandang sebagai sistem terbuka yang terdiri dari beberapa subsistem: struktur, proses, teknologi, dan manusia.
Janganlan puluhan, ratusan atau milyaran...setibu perak saja tidak.
Maaf ya.
Model hibrid dinamis angsuran PPh Pasal 25 adalah pendekatan gabungan antara indikator administratif (omzet) dan indikator substantif fiskal (perubahan laba kena pajak) dengan bobot empiris yang proporsional. Model ini menghasilkan mekanisme adaptif dan responsif terhadap kondisi riil usaha tanpa menambah beban administratif bagi wajib pajak.
Trigger administratif → sistem memantau kenaikan omzet (misalnya >10–20%) sebagai sinyal awal kewajiban review angsuran.
Kalibrasi substantif → menyesuaikan besaran angsuran berdasarkan estimasi perubahan laba kena pajak dengan mempertimbangkan komposisi biaya.
Kelebihan model hibrid:
Responsif terhadap dinamika ekonomi wajib pajak (melalui omzet),
Akurat secara fiskal (melalui laba kena pajak),
Mudah diimplementasikan dalam sistem e-filing atau data matching.
Dinamisasi Angsuran PPh Pasal 25 berbasis Omset adalah mekanisme penyesuaian angsuran bulanan yang menghitung besaran PPh 25 berdasarkan perubahan peredaran bruto, dengan sistem yang menyesuaikan otomatis melalui integrasi data e-Faktur dan e-Bupot, sebagaimana praktik PAYG (Australia) dan Advance CIT (China).”
Dinamisasi PPh Pasal 25 :
https://en.wikipedia.org/wiki/Debt_service_coverage_ratio
Sepanjang omset ada kenaikan atau penurunan tidak signifikan, maka atas angsuran PPH Pasal 25 yang perhitungannya melebihi dari 12 x jumlah angsuran PPh Pasal 25 di tahun pajak tersebut maka dapat dilakukan dinamisasi atau penyesuaian atau kenaikan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
Syarat :
| Ambang kenaikan PPh | >125% dibanding tahun sebelumnya |
| Perkiraan kenaikan omzet pemicunya | Sekitar 20–40%, tergantung margin laba dan efisiensi biaya |
| Kondisi normal (margin stabil) | Kenaikan omzet ±25% sudah cukup menaikkan PPh >125% |
| Implikasi fiskal | WP wajib menghitung ulang angsuran PPh 25 untuk bulan tersisa |
Secara empiris, DSCR dan DACR bersifat saling melengkapi: DSCR menjamin kapasitas fiskal wajib pajak (administratif-kemampuan bayar), DACR menjamin akurasi dan adaptivitas model fiskal (substansial-responsif). Dengan menggabungkan keduanya, model dinamisasi PPh Pasal 25 dapat menjadi self-adjusting system yang adil, prediktif, dan terukur secara fiskal maupun administratif. |
Bersainglah secara sehat
Motto Olimpiade adalah "Citius, Altius, Fortius" (Latin) yang berarti "Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat".
Sejak 2021, motto tersebut diperbarui menjadi "Citius, Altius, Fortius – Communiter" atau "Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat – Bersama" untuk menekankan pentingnya persatuan dan kolaborasi.
Pada lintasan sama dan tanpa kecurangan atau kelicikan...hidup perjuangan dalam hidup.
Menang atau kalau itu soal kualitas hidup.
Kemenangan sejati adalah nguwasani diri, dudu nguwasani liyan (menguasai diri, bukan menguasai orang lain).
“Pertarungan antar manusia adalah cermin dari pertarungan batin dalam diri masing-masing: antara ego dan nurani, antara kehendak untuk berkuasa dan kesadaran untuk berbakti.”
Mudah-mudahan ada Pengaturan Pajak mengenai Benda Mati cfm Aset Berwujud/ Benda Tidak Bergerak dan Benda Hidup/Barang Bergerak/Barang Berwujud (Hewan Ternah, Tumbuhan dll)
Ing sajroning kawruh Jawa, urip iku ora mung babagan menang lan kalah, nanging ngenani ngreksa keseimbangan antarane jagad cilik (diri pribadi) lan jagad gedhe (alam lan masarakat). Nalika jagad rame, ati kudu sepi. Nalika jagad gila, pikir kudu waras.
Dari keseluruhan Serat Kalatidha, dapat disimpulkan beberapa nilai pokok:
Kesadaran moral: jangan hanyut oleh zaman, jaga nurani.
Kesabaran dan introspeksi: hadapi kekacauan dengan laku prihatin.
Spiritualitas aktif: menghadapi penderitaan bukan dengan pasrah buta, tapi dengan kesadaran penuh akan hakikat hidup.
Kearifan universal: kebenaran bersifat abadi, meski dunia berubah.
Siapa yang butuh pajak?
Jawabannya: kita semua.
Negara butuh pajak untuk membangun, melayani, dan menjaga ekonomi tetap kuat.
Masyarakat butuh pajak agar bisa menikmati jalan, sekolah, rumah sakit, dan keamanan.
Dunia usaha pun butuh pajak untuk menciptakan iklim bisnis yang adil dan stabil.
Karena itu, pajak bukan hanya kewajiban — tapi juga kebutuhan bersama.
Negara harus mengelola dengan jujur dan transparan.
Masyarakat harus taat dan ikut mengawasi.
Kalau negara dipercaya dan rakyat berpartisipasi,
maka pajak akan benar-benar menjadi alat pembangunan.
Karena sama-sama butuh pajak,
mari sama-sama membangun negeri.
Nilai Kinerja Pegawai= (Output Kinerja /Skor Beban Kerja) x Bobot Efektivitas
Output Kinerja: hasil kerja nyata pegawai sesuai target kinerja individu (misalnya jumlah laporan, kegiatan, pelayanan, atau capaian program).
Skor Beban Kerja: total perhitungan antara jumlah tugas yang ditangani dengan bobot kompleksitasnya.
Bobot Efektivitas: faktor penyesuaian berdasarkan capaian target (1,0 = sesuai target; >1,0 = melampaui target; <1,0 = belum mencapai target).
| Kategori Tugas | Ciri Utama | Contoh | Bobot Kompleksitas (C) |
|---|---|---|---|
| Tinggi | Tugas strategis, berdampak luas, risiko tinggi | Perumusan kebijakan, audit besar, analisis strategis | 3 |
| Sedang | Tugas operasional penting, berdampak menengah | Pelayanan, penyusunan laporan, koordinasi lintas unit | 2 |
| Rendah | Tugas rutin atau administratif dengan risiko rendah | Arsip, input data, dukungan teknis | 1 |
SBK=Jumlah Tugas/Bobot Kompleksitas
Contoh:
| Kategori | Jumlah Tugas | Bobot | Total Skor |
|---|---|---|---|
| Tinggi | 10 | 3 | 30 |
| Sedang | 20 | 2 | 40 |
| Rendah | 15 | 1 | 15 |
| Total SBK | 45 | 85 |
Misal:
Output Kinerja (dalam poin capaian) = 95
Skor Beban Kerja (SBK) = 85
Bobot Efektivitas = 1,05
Nilai Kinerja Pegawai = 95/85 x 1,05 = 1,17
]
Interpretasi:
* > 1,0 → Melampaui target
* =1,0 → Sesuai target
* <1,0 → Di bawah target
Untuk menjaga keseimbangan antara hasil kerja dan perilaku:
| Aspek | Bobot | Nilai (1–5) | Skor |
|---|---|---|---|
| Integritas & Kepatuhan Etika | 15% | 5 | 0,75 |
| Kerjasama & Komunikasi | 10% | 4 | 0,40 |
| Inovasi & Ketepatan Laporan | 10% | 4 | 0,40 |
Kemudian nilai akhir dihitung:
Nilai Akhir Pegawai =
Nilai Kinerja Pegawai 0,65+Skor Perilaku 0,35
]
Menghitung proporsionalitas beban kerja antar pegawai (tidak semua pegawai punya jenis tugas sama).
Menjamin objektivitas merit system dengan dasar data dan perhitungan terukur.
Bisa diterapkan di semua unit — pelayanan, pengawasan, administrasi, maupun analisis.
Mendorong budaya kinerja berbasis hasil dan kualitas, bukan sekadar banyaknya pekerjaan.
Kau Tidak Percaya, AKU LEBIH TIDAK PERCAYA. TAHU...!!!
Ingat Masa Lalumu.....tangisi, resapi dan ingat..PAHAM KAU SOAL HIDUP????!!!
Kuitpan Puisi Tentang "TRUST"
…dengan pemisahan tegas antara yang:
1️⃣ Terkait penghasilan (objek PPh),
2️⃣ Terkait penghasilan bukan objek pajak, dan
3️⃣ Tidak terkait dengan penghasilan (non-income transactions).
| Jenis Data | Sumber Dokumen | Keterangan Detil | Dampak Pajak |
|---|---|---|---|
| Faktur Pajak Keluaran | e-Faktur (PMSE, DJP, atau internal) | Bukti penyerahan BKP/JKP oleh PKP; menjadi dasar PPN keluaran dan omzet bruto | Menambah omzet dan dasar pengenaan PPN |
| Faktur Penjualan / Invoice | Sistem akuntansi, manual, e-commerce | Menunjukkan nilai penjualan barang/jasa yang dilakukan | Menambah omzet |
| Nota kontan / Kwitansi | Kasir / POS | Transaksi tunai yang sering tidak tercatat di faktur | Menambah omzet (sering jadi sumber temuan DJP) |
| Mutasi rekening bank (kredit) | Rekening koran, mutasi harian | Dana masuk dari pelanggan — perlu uji kesesuaian dengan faktur | Menambah omzet jika berasal dari pelanggan |
| Laporan penjualan harian | POS, ERP, laporan kas harian | Rekap total transaksi per hari, bisa dibandingkan dengan penjualan akuntansi | Menambah omzet |
| Bukti pengiriman barang / DO | Surat jalan, BAST | Indikasi penyerahan fisik barang — bukti waktu pengakuan omzet | Menentukan waktu pengakuan penghasilan |
| Kontrak / Purchase Order | Dokumen perjanjian | Menjadi dasar kesepakatan harga dan volume penjualan | Bukti validasi omzet |
| Laporan E-Commerce | Shopee, Tokopedia, Bukalapak | Berisi nominal transaksi online | Menambah omzet |
| Laporan marketplace settlement | Transfer dari platform ke rekening | Bukti dana diterima dari platform | Menambah omzet |
| Retur penjualan | Nota retur / faktur pengganti | Mengurangi omzet tahun berjalan | Mengurangi penghasilan bruto |
| Jenis Data | Sumber Dokumen | Keterangan | Dampak Pajak |
|---|---|---|---|
| Setoran Modal | Akta, mutasi rekening, notulen RUPS | Tambahan modal dari pemegang saham | Tidak menambah omzet |
| Pinjaman diterima | Perjanjian pinjaman, rekening koran | Utang yang wajib dikembalikan | Tidak menambah omzet |
| Hibah/Sumbangan yang memenuhi Pasal 4(3)a | Akta hibah, surat keterangan | Harus tidak ada hubungan usaha dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan | Bukan objek PPh |
| Pengembalian piutang tak tertagih | Bukti penerimaan kas | Jika sudah dibebankan tahun lalu, maka kini bukan penghasilan lagi | Tidak menambah omzet |
| Dividen antar badan dalam negeri | Bukti pembagian dividen, notulen RUPS | Bila memenuhi Pasal 4(3)f UU PPh | Bukan objek PPh |
| Jenis Data | Sumber | Penjelasan | Dampak Pajak |
|---|---|---|---|
| Penjualan aset tetap | Akta jual beli, BAST | Bukan omzet, tapi menghasilkan keuntungan atau kerugian fiskal | Kena pajak bila ada laba atas selisih harga jual dengan nilai buku |
| Transfer antar rekening | Mutasi antar bank | Harus dieliminasi dari analisis omzet | Tidak memengaruhi |
| Pengembalian uang muka | Bukti transfer | Koreksi atas transaksi sebelumnya | Tidak menambah omzet |
| Jenis Data | Sumber | Keterangan | Dampak Pajak |
|---|---|---|---|
| Neraca akhir tahun lalu | Laporan keuangan audit | Pos “Persediaan” (barang dagangan, bahan baku, barang dalam proses) | Menjadi persediaan awal tahun berjalan |
| Laporan opname gudang tahun lalu | Berita acara opname | Fisik barang pada 31 Desember | Menentukan saldo awal stok |
| Kartu stok (stock card) | Sistem inventory | Rincian item dan jumlah | Validasi internal |
| Nilai persediaan (FIFO, average) | Sistem akuntansi | Metode penilaian menentukan HPP | Pengaruh ke HPP dan laba kena pajak |
| Jenis Data | Sumber | Penjelasan | Dampak Pajak |
|---|---|---|---|
| Opname fisik 31 Desember | Berita acara opname | Mengukur stok nyata akhir tahun | Menentukan nilai persediaan akhir |
| Kartu stok | Sistem inventory | Menggambarkan pergerakan per barang | Validasi dengan fisik |
| Laporan stok rusak/usang | Notulen opname | Koreksi nilai persediaan | Bisa dibebankan jika memenuhi Pasal 6 UU PPh |
| Penyesuaian stok | Jurnal penyesuaian | Koreksi perbedaan fisik dan buku | Menyesuaikan HPP fiskal |
| Harga pokok satuan terakhir | Sistem akuntansi | Penilaian FIFO atau average | Pengaruh laba bruto |
| Jenis Data | Sumber | Keterangan | Dampak Pajak |
|---|---|---|---|
| Faktur pajak masukan | e-Faktur / vendor | Bukti pembelian BKP/JKP | Pajak masukan dapat dikreditkan |
| Invoice / nota pembelian | Vendor | Bukti pembelian barang atau jasa | Meningkatkan HPP |
| Bukti penerimaan barang | BAST / GRN | Konfirmasi barang diterima | Validasi pengakuan persediaan |
| Bukti pembayaran | Transfer bank, kas kecil | Verifikasi realisasi pembelian | Bukti keabsahan biaya |
| Rekap pembelian bulanan | Sistem akuntansi | Total pembelian selama periode | Dasar analisis HPP |
| Laporan importasi | Pemberitahuan Impor Barang (PIB) | Barang impor, termasuk bea masuk dan PPN impor | Tambahan biaya perolehan |
| Retur pembelian | Nota retur / faktur pengganti | Mengurangi nilai pembelian | Koreksi HPP |
| Jenis Data | Sumber | Keterangan | Dampak Pajak |
|---|---|---|---|
| Pembelian aset tetap | Faktur, BAST, akta jual beli | Tidak langsung memengaruhi HPP, masuk daftar aktiva | Disusutkan fiskal |
| Pembelian pribadi (pribadi direksi/pemilik) | Bukti belanja, mutasi rekening | Tidak berkaitan usaha | Tidak dapat dikurangkan |
| Pengeluaran investasi | Perjanjian investasi | Termasuk pembelian saham, properti investasi | Tidak memengaruhi HPP |
| Jenis Biaya | Dokumen Sumber | Keterangan | Dampak Pajak |
|---|---|---|---|
| Gaji, upah, bonus | Daftar gaji, bukti potong PPh 21 | Harus ada bukti potong dan daftar hadir | Mengurangi penghasilan bruto |
| Sewa tempat, kendaraan, alat | Kontrak, faktur, bukti bayar | Untuk operasional usaha | Mengurangi penghasilan bruto |
| Biaya listrik, air, telepon, internet | Tagihan, bukti bayar | Harus atas nama perusahaan | Mengurangi laba |
| Biaya transportasi, pengiriman | Nota pengiriman, SPJ | Mendukung kegiatan usaha | Deductible |
| Biaya bunga pinjaman | Kontrak kredit, bukti transfer | Hanya untuk pinjaman usaha | Deductible |
| Biaya promosi, iklan | Faktur, kontrak | Untuk penjualan | Deductible |
| Biaya administrasi & bank | Rekening koran, nota debet | Biaya operasional usaha | Deductible |
| Penyusutan & amortisasi | Daftar aktiva tetap | Harus sesuai Pasal 11 & 11A UU PPh | Deductible |
| Biaya asuransi usaha | Polis dan bukti bayar | Asuransi inventaris, gedung, karyawan | Deductible |
| Biaya pelatihan karyawan | Invoice, sertifikat | Terkait peningkatan kemampuan | Deductible |
| Jenis Biaya | Dokumen Sumber | Keterangan | Dampak Pajak |
|---|---|---|---|
| Denda dan sanksi pajak | Surat Tagihan Pajak, SSP | Tidak boleh dikurangkan (Pasal 9 ayat (1) huruf k UU PPh) | Koreksi fiskal positif |
| Biaya pribadi pemilik | Bukti belanja | Tidak terkait usaha | Koreksi fiskal positif |
| Sumbangan dan donasi | Bukti transfer | Kecuali melalui lembaga resmi (Pasal 9 ayat (1) huruf g) | Non-deductible |
| Biaya untuk penghasilan bukan objek pajak | Perhitungan bunga, mutasi | Tidak terkait kegiatan usaha | Non-deductible |
| Pembentukan cadangan tanpa dasar | Jurnal akuntansi | Tidak diatur Pasal 9 | Non-deductible |
| Royalti atau fee ke afiliasi tanpa dasar wajar | Kontrak transfer pricing | Koreksi fiskal positif | Non-deductible |
| Elemen | Hubungan dengan Data Lain | Tujuan Analisis |
|---|---|---|
| Peredaran usaha | Harus sinkron dengan mutasi rekening dan faktur keluaran | Uji kepatuhan omzet |
| Pembelian | Harus sesuai dengan faktur masukan dan stok masuk | Uji HPP dan PPN Masukan |
| Persediaan awal & akhir | Harus sinkron dengan laporan opname dan kartu stok | Uji akurasi HPP |
| Biaya operasional | Harus didukung bukti sah dan rasional terhadap omzet | Uji kewajaran laba |
| Arus kas masuk | Harus dapat dijelaskan asal-usulnya (penghasilan, pinjaman, modal) | Uji potensi tambahan kemampuan ekonomis (Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh) |
Kalau yang dilaporkan atau dibicarakan jeleknya lalu yang baiknya letaknya dimana?. Jeleknya aja belum tentu jelek juga. Nah lho.